Chapt I
Mentari disiang hari yang kini
sedang meredakan panasnya dimana
dunia kini akan merubah warna kanvas langitnya menjadi senja memerah, keramaian
kendaraan yang sedang sibuk dengan bunyi-bunyi bisingnya, suasana berdesak-desakkan
di terminal kota Cikarang, orang-orang yang berlomba dengan detik-detik waktu berlalu yang kan menjadikan dunia diselimuti
selimut malam, mereka
orang-orang yang ingin segera
kembali ke rumah yang penuh kehangatan keluarga, yang menunggu mereka dari capeknya
dan letihya setelah bekerja seharian
mencari nafkah untuk keluarga, dan ada pun siswa-siswi yang ingin segera kembali kerumah mereka dengan membawa penat dikepala setelah beraktivitas
belajar di sekolah mereka. Di sebuah perumahan Cikarang saat ini, waktu menunjukan pukul 03.30
WIB, dari jejauhan lorong gang perumahan “Tap tap tap” suara langkah-langkah kaki gadis belia dengan
cepat menusuri halaman rumah yang cukup megah, tergesa-gesa sembari merintikan dan
menghapus airmata, berusaha menahan kekecewaan yang dia rasakan di dalam
hatinya, melewati perkarangan rumah dan masuk ke dalam rumah melewati seorang
nenek yang sudah cukup berumur. “Blllaamp…” suara pintu kamar yang ditutupnya
dengan cukup keras, mengagetkan seisi rumah disiang hari.
“Astafirulloh”
Terkejudnya Bi Endang, ketika mendengar suara keras tersebut, kebetulan si Bibi
sedang mengepel lantai di depan ruang kamar gadis Belia tersebut. “Astagah Non,
Emma bikin jantungan Bibi ajah, Non, Non.” Bi Endang
menggelengkan kepalanya.
Seorang Nenek
tua yang tadi baru sajah dilewati Emma yang sedang asyik nge-teh
dan duduk di teras memandangi pemandangan perkarangan di depan rumah. Diletakkan gelas the-nya
dan memasuki ruangan rumah dan bertanya pada sang BIbi, “Ndang, kenapa sama Emma?” tanya sang Nenek pada pembantu rumahnya Bi Endang.
“Gak tau Nyah, kayanya Non Emma nangis,
trus masuk ke kamarnya tuh Nyah.”
Si Nenek
dengan perhatiannya menghampiri pintu kamar Emma dimana di pintu kamar itu
terdapat tempelan warning “the girl room”, mengetuk pintu Emma dengan lembut pintu
kamar “Emma… Emma… ini Eyang, kamu kenapa?” dengan perhatiannya sang
Nenek bertanya pada cucunya dari luar kamar.
Yang terjawab
dari ruangan itu, hanya suara isak tangis dan teriakan kekesalan, bahkan
terkadang ada kalimat sumpah serapa, mengutuk kaum Adam yang telah melukai hatinya.
“hicks.. Gw
benci, Gw benci sama lo, lo dah khinatin gw,dasar cowo berengsek lo” Emma
mengucapkan kata-kata di depan bingkai foto yang dipegangnya, dimana terdapat
foto mereka Emma dan pacarnya dan bertulisakan Emma Octaviany (tanda love)
Bagas.
Nenek
memasuki kamar Emma dan melihat keadaannya, kamar yang dipebuhi boneka-boneka
Hello kitty, bernuansa pink dan putih. Dengan kasih sayang sang Nenek duduk di
samping cucu-nya, membelai lembut rambut cucunya, dan dengan lembut Nenek
bertanya “Kenapa ini? Kenapa ma cucu Eyang?”
“Kesel Yang,
sakit rasanya.” Segera dipeluk Eyangnya dan menangis dalam pelukan Eyangnya.
“Iah, iah
sabar yah… “ dipeluk hangat cucunya dan dibelai rembut cucu gadisnya.
“Kenapa sih
Eyang, setiap cowo begitu? Selalu aq yang disakiti ma cowok-cowok, kayanya di
dunia ini dah ga ada cinta sejati! Semuanya pada bermulut maniz Yang.” Begitu
hasil hipotesa Emma.
“Nggak
juga,Emma, mungkin lom ketemu ajah jodohnya Emma, Eyang dulu juga pernah
mengalami dua cinta sejati.”
“Hah? Bener
Eang? Eang Tarry pernah ngalamin? Sama siapa?” Emma merenggangkan sekilas
pelukannya menatap wajah Eyangnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Salah
satunya sama Kakek mu, Brata.”
“Trus yang
satunya Eyang?”
“Ada dech,
mau tau aja cucu Eyang ini.” Didekap kembali kepala Emma di bahunya.
“Mau taulah
Eyang, sama siapa Eyang? Ceritain dunk!”
Emma melepaskan peluknya dan menggenggam kedua tangan Eyangnya, dan
memasang wajah yang penasaran dan manja.
“Iyah, tapi
sekarang kamu mandi ganti baju kamu dulu, baru Eyang ceritakan kisah Eyang.”
Dirapihkan wajah Emma dari air matanya dan rambutnya yang agak berantakan.
“Nggak mau,
maunya sekarang, Yang.” Nadanya dengan manja, mengayun-ayunkan tangan Eyang.
“Mandi dulu
yah cantik.” Sang nenek mengelus pipi cucunya yang cantik, mengingatkan dirinya
yang dulu kecil.
“Ia deh Yang,
tapi janji yah Yang, Nanti cerita?”
“Iaah cucu
Eyang yang cantiq.”
Setelah Emma
beranjak dari kamarnya menuju kamar mandi membawa handuk hello kittynya, Nenek
pun menuju kamarnya, dibuka pintu lemarinya, mengambil sebuah kotak yang
tersimpan rapih, dan dibawanya ke tempat tidur. Nenek duduk datas kasur dan
membuka kotak yang berada dipangkuannya beberapa foto-foto masa mudanya bersama
seorang pemuda, dan terdapat sebuah kotak cincin yang terbuat dari silver kenangan
dari Edward. Terbayanglah wajah-wajah Edward yang tersenyum kepadanya, kenangan
dimana Edward memanggil namanya “Tarry” nama panggilan dari Edward untuk Emma
Lestari. Kenangan juga dimana Edward menggedong Tarry disepanjang jalan,
kejutan-kejutan dari Edward saat moment penting.
Emma Lestari
adalah nenek dari Emma Octaviany, dulu Tarry (Emma Lestari) pernah bercerita
kepada anak-anaknya tentang kisahnya, dulu orang tua Tarry ingin menamakannya
dengan nama Emma Octaviany karna bulan lahirnya Oktober atau Emma Lestari tapi
dengan bimbang dan akhirnya mereka memutuskan untuk menamakannya dengan Emma
Lestari, dan berhubung Emma yang kecil lahir dibulan yang sama dengan Neneknya,
maka Tarry meminta anaknya untuk cucunya diberi nama yang mirip dengan dia yang
dulu yang dia ingin gunakan Emma Octaviany.
Setelah beres
semua dan berpakaian rapih, Emma menghampiri Eyang Tarry di kamar beliau, “Eyang,
Eyang Tarry.” Panggil-panggil Emma dan melihat kotak yang dipangku oleh
Eyangnya, “Kotak apa itu Eyang?”
“Eh cucu
Eyang, sini duduk dekat Eyang.”
Dihampirinya
Eyang Tarry da duduk disamping, dan melihat barang-barang milik Eyang Tarry.
“Wah siapa tuh Yang? Ini yah pacar Eyank waktu masih muda dulu?”
Eyang Tarry
hanya membalasnya dengan senyuman merangkul cucunya, dan mengambil selembar
foto Edward dengannya, “Gimana ganteng gak pacar Eyang?”
“Ganteng
Eyang hehehe… Jadi ini toh cinta sejati Eyang.”
“Iaaah
sayang.” Dipeluk gemas cucu kesayanganya dan tertawa kecil dengan memerah
wajahnya.
“Trus dia dimana
sekarang Eyang?”
“Dia sekarang
berada di tempat yang jauh, tempat yang aman.”
“Maksudnya
Eyang?”
Sambil
menunjukan selembar foto Edward pada Emma “Jadi begini awalnya ceritanya, namanya
Edward, orangnya baik, sayang ma Eyang, Eyang
suka marah, dia selalu sabar ma Eyang, pengertian banget orangnya, selalu
mengingatkan Eyang.”
“Cieeee
Eyang,Trus Yang, awal kalian ketemuannya bagaimana?”
“okey, Eyang
certain dari awal yah?”
Emma
memperhatikan Eyangnya, dan menyimak setiap perkataan yang keluar dari mulut Eyangnya,
dan dimulainya cerita ini … ...
*
* * * *
Thamrin city,
yang terletak dipusat kota Jakarta yang megah dengan gedung pencakar-pencakar
langit yang mewah. Dan disinilah terdapat bundaran HI yang terkenal sebagai
pusat kota Jakarta dan juga sebagai pusat kemacetan kota Jakarta, disinilah
pertemuan semua kendaraan-kendaraan bermotor berdesakan apa lagi dipagi hari
ini semua orang saling mengejar waktu untuk masuk kantor dan adapun para supir
angkutan umum yang saling mengejar uang setoran. Dia seorang pemuda dengan
motor hondanya yang tak kalah kesalnya, memberi klakson dan umpat sial pada
supir bus yang memotong jalan yang berada didepan. Ditambah dengan matahari yang mulai
memberikan hangat yang cukup lebih, dan hawa panas yang berasal dari kendaraan
yang bergerumul membangkitkan emosi jiwa semua para pengguna jalan.
Terlepas dari
kemacetan yang luar bisa menumpukkan kekesalan dalam hati, dia yang bernama
Edward peranakan dari suku budaya Tiong Hoa, melaju dengan cepat motornya,
meninggalkan para pengguna jalan yang masih terjebak macet dibelakangnya.
Sampailah di tempat dia bekerja Plaza Semanggi, melaju sampai parkiran motor,
melepas helm dan headset, sekilas terdengar lagu-lagu koleksi mandarinnya yang
berasal dari speaker headsetnya. Melalui pintu belakang Plaza, dan menaiki beberapa
anak tangga escalator yang masih nonaktif sampai ke lantai 2, dan berbelok
kearah kiri sampailah dia pada sebuah Galery provider yang bertulis IM2
Gallery. Edward bekerja sebagai CSR IM2, yang bertugas menghandle komplein,
setting dan penjualan jasa provider internet dibawah naungan perusahaan
Indosat.
Diambil
sebatang rokok dari sakunya, dan membakarnya di ruang pantry, dihirupnya asap nikotin
tersebut dan dihembuskan melalui mulutnya, dihisap kembali dan disebarkan
asapnya melalui hidungnya. “Ringtone handphone” diangkat handphone dari saku
bajunya dan terdengar suara seorang gadis muda dari jejauhan, “hallo ko?”
“Ia Hallo,”
sahut Edward.
Tersedengar
suara tarikkan nafas yang mendalam, dengan sigap Edward menjauhkan ponsel dari
daun telinganya. “HEI KOKO JELEK LU MAU SAMPE KAPAN MAIN PETAK UMPAT HAH?” “ LU
UDAH DI CARI PAPA DAN MAMA TAUK? AQ DAH GAK BISA NGEHINDAR LAGI, RESEK BANGET
SEGH LU KO, GW NIH YANG KENA IMBASNYA. KAPAN MAU PULANG?” Suaranya yang besar
dengan nada yang panjang dan sedikit amarah tak ada titik ataupun koma,
terdengar kembali gadis muda tersebut atau adiknya Edward sedang mengatur
nafasnya.
“iyah, maaf
koko nanti pulang kalau sudah saatnya yah.”
“tapi kapan
ko? Dede dah gak bisa ngehindar lagi dari papa dan mama, mereka nanya aq terus,
soalnya pernah ketauan pas koko telepon aq.” Suaranya tercampur dengan isak
tangis.
“Iyah nanti
koko kasi tau yah kapan koko pulang.”
“Kapan ko? Dede
dah pusing , Dede ga tau bisa sampai kapan bisa tutup mulut.”
“Secepatnya
yah De, Ya dah koko kerja dulu yah sekarang., pokoknya kamu ga usah khawatir
kasih koko waktu sebentar lagi yah? Okey?”
“Iah, cepet
yah, Dede kangen ma koko, si Dede Septian juga nyariin koko terus.”
“iyah, iyah,
ya sudah ya, koko mau kerja dulu yah.”
Usai
mengakhiri pembicaraan mereka melalui telepon, Edward mematikan batang rokoknya
dan mengganti pakaiannya dengan seragam CSR-nya. Tugasnnya sebagai CSR dimulai
dari 9.30 sampai dengan 17.30. Tak terasa mentari yang tadinya sedang teriknya
diluar gedung dengan cepat sudah akan terbenam, senja pun tiba, saat Edward
yang akan hendak meninggalkan meja kerjanya, datanglah seorang gadis muda,
perawakan Tiong Hoa, yang manis dan
cantik dengan tinggi sekitar 170cm,berkulit putih, berambut hitam dan panjang,
memkai pakaian yang seksi dengan dan-danan yang begitu menggugah hati setiap
pria. Bahkan para senior dan teman kerja Edward sangat iri dengan keberuntungan
Edward yang menerima client gadis muda yang sangat cantik itu.
“ko, ko minta tolong dunk, ini laptop saya gak
bisa intenetan?”
“Maaf mbak, sama
saya sajah, si kokonya dah selese tugas,” salah seorang teman kerjanya yang
ingin mengambil jatah Edward.
“Apaan segh
mas, saya minta tolong ma koko ini.” Sedikit bernada ketus.
Edward
menepuk pundak kawannya “Ya sudah bro, sorry yah bukannya gw gak mau kasih ke
lu yah hehehehe, dia maunya ma gw tuh hehehe.” Ejek Edward pada teman kerjanya.
“Yah, ada yang bisa saya bantu?” Tanyanya, dan sambil kembali kebangku
kerjanya.
“Begini, 5
menit yang lalu saya bisa browsing, tapi sekarang sedang ga bisa, saya lagi
penting nih, mau kirim email hasil kerjaan saya ke atasan saya.” Wah wah
bagaimana Edward tak terpikat, dia manis dan bersuara merdu bahkan bertutur
lembut kepadanya. “Okey saya check dulu yah.” Pengecekan dilakukan dan
ditemukanlah kendala pada modem USB-nya yang sudah hangus terbakar (biasanya
dikarnakan pemakaian yang berlebihan dar batas wajarnya).
“Maaf nih
ci,”
“Aduh Jangan
panggil aq cici, aq lebih muda dari kamu ko, panggil aja Jessica.”
“Okey, Jes,
gini yah, sudah saya periksa dan ini masalahnya, modem USB kamu sudah rusak,
alias sudah R.I.P karna mungkin karna pemakaian yang berlebihan.”
“Ia segh aq
pakainya seharian terus online, trus gimana dunk, aq mau kirim email?”
“Ya sudah
mana datanya? biar aq bantu kirim dari kompi (computer).”
“Bener nih,
gak apa-apa?”
“Gak
apa-apa.”
“Atasan kamu
gak marah?” sambil menunjuk seseorang yang sedang berdiri dan memperhatikan
mereka di tempat kerja Edward. “Ah, dia, tenang ja, mana berani dia ngomel ma
aq.” “Yah khan mas Fajar? Boleh pake kan kompinya?”
“Oh boleh,
boleh, silahkan saja, asal bagi nomor teleponnya dunk” jawaban dengan topeng
senyum manisnya. Tak di tanggapinya perkataan mas Fajar, namun tetap saja
Jessica mengambil secarik kertas didekatnya dan menuliskan nomor ponselnya,
kemudian menyodorkannya kepada Edward. Edward mendiamkan saja kertas itu
disamping keyboard.
“Okey, see
what I say. Well where your file? I want to help you to sent it to your boss
(bhs. Inggris).” Segera dieksekusikan (dikerjakan) mengcopy data melalui
flashdisk, dan menancapkan flashdisk ke kompi. Jessica berpindah tempat berdiri
sedikit membungkuk presis disamping Edward, Edward terpesona hatinya, mencium
wangi parfum tubuh dari Jessica dan rambut yang halusnya jatuh menyentuh lengan
Edward. “hey, kok bengong ko?”
“Oh ya,
sorry… okey sorry, kamu yang kirim sendiri sajah yah?” Edward menyerahkan
keyboard pada Jessica. Dan setelah
selesai pengirimannya, “Okey makasih yah, sudah dibantu ma kamu, oh iyah, namau
siapa? Dari tadi kamu ajah yang tau nama qu, aq belum tau nama kamu.” Jessica
mengulurkan tangannya, dan dibalas oleh Edward, “Edward.”
“oh yah, trus
gimana nih soal modem qu?”
“Yah mau gak
mau, beli baru. Di sini ada jual kuq.”
“Berapaan
ko?”
“Sudah tau
nama, panggil nama sajah yah. Sekitar empat ratus lima puluh ribu rupiah.”
“Wah mahal
juga yah, nanti aja deh kuq, ga bawa uangnya.”
“Oke deh,
gpp, modemnya agak mahal karna kita ada garansi satu tahun, gak seperti modem
yang dijual dipasaran yang mudah rusak.”
“O gitu, ya
deh besok aja deh saya balik lagi, makasih banyak yah ko Edward mau bantu
saya.”
“Okey,
Makasih yah sudah mau berkunjung di tempat kami,” Sapaan para CSR yang telah
selesai dilayani, padahal mah mana pernah Edward bersapa seperti itu, hanya
karna ketemu gadis yang cantik ajah baru beramah tamah.
Diselang itu,
mata-mata tajam sedang memandang dari sudut jejauhan, “Lu ngomong apa bro
barusan? Gw ga berani sama lu?” Dengan Garangnya Mas Fajar dengan gaya melipat
tangannya.
“Hehehehehehee….
Sudah mas, gak baik kalau ribut, nih gw bagi nomor teleponnya,”
*
* * * *
“Wah, buaya
juga yah nek, Eyang Edward?” Emma bertanya.
“Hahaha yah
Eyang ga tau, Edward dulu yang cerita seperti itu pada Eyang, kayanya segh dari
sepengetahuan Eyang, si Edward segh ngak begitu.”
“Wah eyang ngebela
aja,yayanknya segh.”
“hahaha…”
dibelainya kembali rambut Emma. “Trus besoknya tuh cewek bener-bener dateng
lagi nemuin Edward… …. … … “
*
* * * *
“Wah Ward,
asem lu,” sambutan pagi dari Mas Fajar untuk Edward yang baru saja tiba di ruang
pantry.
“Kenapa Mas?”
dengan tampang bingung dan berfikir apa yang salah engan dirinya? Dan apa yang
sudah diperbuatnya.
“Ini cewek
lu, asem banget dah, gw ajakin sms ma dia, malah ngebahas lu molo, nanya-nanya
lu molo, ampe bête gw ampe gw bilang dalam hati kenapa segh Edward molo segh
yang ditanya, gw yang naksir lu oi mala Edward yang dicari.”
“Cewek gw?
Kapan gw punya pacar mas?”
“Itu si
Jessica,”
“Ooooo… ya
elah mas, gw kira masalah apa? Yah berarti dia ga buta.”
“Ga buta
kenapa?”
“Iah, tuh cewek
bisa bedain mana orang ganteng ma orang jelek.” sambung dari teman kerja mereka
yang juga baru hadir di ruang Pantry.
“Hahaha….
Ahahaha… “ “Sudalah Mas Fajar terima nasib mu yah, hahaha … “ hibur Edward.
“Ah resek lu
semua, sudah sana cepetan pada kerja, mau gw aduin lu pada ke Mbak Dian.”
“Dasar bocah,
mainnya ngaduan ke atasan.” Ejek Edward dan berlalu dari ruang pantry menuju
meja kerjanya. Tepat disaat Edward sedang menuju meja kerjanya, Jessica sudah
menunggu di meja kerjanya, duduk di tempat untuk pelanggan. “Hi” sahut Jessica
dengan lambai lentik jemarinya.
Edward merasa
sedikit aneh, kenapa begitu tiba-tiba, “Iyah ada apa yah?”
“Soal modem
yang kemaren, aq mau beli satu.”
“Ooo begitu,
tunggu sebentar yah, saya ambilin dulu modemnya.”
“Okey.” Balas
Jessica diselingi senyuman manis dan menyisir semua rambutnya dengan jari
lentiknya kea rah kanan. Terlihat jelas leher putih, cowo mana yang tidak
mendidih darahnya saat melihat keseksian dan kemolekkan godaan dari wanita itu,
Bahkan kawan kerjanya yang baru melihat adegan yang mempesona tersebut sampai
menelan ludahnya.
Diblakang,
pantry, “Sialan, dia datang malah nyari lu bukan gw.”
“Yah biasalah
penggemar gw Mas, hahaha… dah ah, coba liat stock modem masih ada gak, Jessica
mau beli satu.”
“Masih ada Bro,
nih bilang aja gratis,”
“Loh, lu yang
bayarin Mas?”
“Iyah… ”
“Yakin lu
Mas? Jangan begitulah Mas?”
“Dah gak
pa-pa, gw mau dapetin dy, biar gw yang
nanggung.” Mas Fajar membusungkan dadanya, dan menepuk dadanya dengan bangga,
layaknya pria sejati.
“kalau dia
nolak bagaimana?”
“Yah, harus
sampai diterima dunk ma dy, gimana caranya kek. Atau gak bonus lu gak cair”
“Waduh
ancamannya, ya sudah gw usahain dari pada bonus gw gak cair.” Sambil
memikirkan, setidaknya boleh juga ini dijadikan kesempatan untuk mengetahui
Jessica gadis yang baik atau memanfaatkan keadaan semua ini. Kembali ke tempat
kerja dengan membawa modem pesanan Jessica.
“Ini Jess,
ini segelnya aq buka yah?”
“he eh.”
“bisa diliat
yah, modemnya utuh, kabel-kabel USBnya, dan kartu garansinya masih ada lengkap
semua yah?”
“Okey.”
“Okey kalau sudah, saya siapin semua settingannya yah.”
“Okey kalau sudah, saya siapin semua settingannya yah.”
Jessica
dengan segera mengeluarkan laptopnya, dengan segera Edward mensetting modem ke
laptop Jessica dan menuliskan semua berkas-berkas dan kartu garansi, setelah beres
semuanya, modem dan laptop dikembalikan kepada Jessica. “Okey makasih yah,”
semua peralatan di masukkan ke dalam tas laptop Jessica. “ini uangnya.”
“Oh gak usah
ini kamu simpan ajah buat kamu.”
“Loh?
Kenapa?”
“Sudah ada
yang bayarin.”
“Hmmm… SIapa?
Kamu yang bayarin?”
“Hmmm… bukan,
itu si Mas Fajar.”
“O begitu,
janganlah, aq gak bisa terima, ini aq bayar sajah yah.”
“haduh jangan
deh, ntar saya yang kena marah ma dia, terima ajah yah?”
“haduh,
jangan lah, aq gak bisa.”
“tolonglah, skali
ini sajah yah.”
“Hmmm… okey,
tapi ada satu syarat yah?”
“Hah?”
“mau gak?”
“Iyah deh,
apa syaratnya?”
“Temanin aq
makan malam yah?”
“Hah? Aduh”
“Gimana?
kalau ngak mau ya sudah, modemnya aq balikin sajah.”
“Okey deh, aq
terima ajakan kamu,”
“Okey,
makasih yah, nanti jam berapa selesai kerjanya?”
“Agak malam
segh, sekitar jam 10 malam.”
“Okey sampai
jumpa nanti malam yah, nanti aq jemput disini.” Dan beranjak pergi Jessica
dengan menenteng tas dompetnya, dan memeluk tas laptop kecilnya di pelukannya.
“Edward,”
nada tegas terdengar dibelakang , dan teman-teman sedang berkumpul dipojokan
tertawa dengan senang melihat penderitaan Edward. “Waaaard.”
“Iyah mas,
ada apa nih?” Perasaan yang gak mengenakan datang.
“Gw yang
bayarin modemnya, kenapa lu yang diajak makan malam?”
“Ga tau Mas.”
“Gini ja,
karna gw masih berbaik hati sama lu, bonus lu utuh, tapi, modem tadi yang buat
Jessica lu yang bayarin.”
“Loh kuq gw?
tadi kan lu yang mau bayarin/”
“Siapa
bilang? Mana saksinya?”
“Tuh si
Rizky, saksinya.”
“Bener ki, gw
ngomong gitu?”
“Ah mana ada
hehehe…. Jangan jadi busuk deh lu Ward hahaha… “ Rizky cengengesan, tersenyum
senang diatas penderitaan Edward.
“Sial, apek
dah gw,” Edward memukul kepalanya.
“Bodo…
Hemmm…” dengan gaya lekong mas Fajar beranjak dari tempat Edward ke meja kerjanya.
Jam 10 malam
sudah ditunjukkan oleh jam dinding di ruang pantry, Edward masih melihat
kekanan dan kiri ruangan, melihat-lihat apakah Jessica bener-bener akan
menjemput dia? “Hmmm… kayanya ga datang tuh cewe, baguslah gw gak mau tejebak
dalam cinta segitiga.”
“All gw
doloan yah, tar kalau Jessica datang bilang jah gw dah pulang yak?”
“NgggaaaaaKkkk…”
serempak dengan kompak meeka menjawab.
“Jadi apa
maksudnya nich?” Loh kuq ada suara cewe di belakang? Tak disangka Jessica
dengan mas Fajar ada dibelakangnya.
“Haduh mate
gw,” suara bisik Edward.
“Mampus lu
Ward, hahaha…”
“Kuq bisa
disini?”
“Tadi habis
dari wc gw liat dia, jadi gw ajak masuk aja skalian.”
“Heemmm… knp?
Mau kabur? Hmmm… tidak bisa, ayuk ikut.” Jessica menarik tangan Edward keluar
dari Gallery, dan tak lopa member salam pada semuanya. Tapi mereka kawan-kawan
kerja yang lain membalas sambil meledek mas Fajar. “Daaahhh mas Fajar,
wakakakakak…” Tampang Mas Fajar berubah seperti bocah ingusan yang sedang
mewek.
Di Cozy café,
yang terletak di Kemang Jakarta, mobil sedan dan sporty berwarna merah terpakir
rapih di tempat parkir, Jessica dan Edward turun dari mobil tersebut.
“Jess.” Panggil Edward,
“yah?”
“Yakin kita
makan semewah ini? Aq mana punya uang?” dengan tampang bimbang melihat-lihat
tempat yang sebagus ini.
“Tenang ajah,
aq yang traktir kamu sebagai ucapan terima kasih.”
“Hah? Apa ga
berlebihan Jess? Itu kan tugas aq.”
“hmmm… atau
gini ajah, gimana kalau perayaan pertemanan kita?”
“Aduh, jangan
berlebihanlah masa berteman sajah harus dirayain?” Edward berusaha menghindar
dari Jessica.
“Trus? Jadi?”
Edward menjadi gelagapan “Udah yah, yuk, tadi kan dah janji mau nemenin aq akan
malam.”
“Tapi?”
Jessica sudah
memasang tampang cemberut pada Edward dan menatapnya dengan sini, “Alamak
kenapa gw terjebak kaya gini?” suara hati Edward berbicara, “Iya deh, aq gak
akan banyak ngomong lagi, aq ikutin maunya kamu.”
“gitu dunk,
yuk.” Dengan hati riang Jessica menggandeng tangan Edward memasuki Cozy café
tersebut. Dan mereka duduk di tempat yang sudah Jessica pesan, yang terletak di
balkon atas, yang sudah dihiasi lilin malam dan pemandangan langit malam
bertaburan bintang.
“Kamu mau
makan apa?” Tanya Jessica sambil membaca-baca menu yang diberikan oleh seorang
Waitress.
“Nasi goreng
ajah ma nasi putih.” Jawabnya.
“Hah? Ko
Edward yang bener dunk pesannya, ini tempat mewah bukan makan yang biasa-biasa
seperti itu, kan aku sudah bilang aku yang bayar.”
“I, iyah
deh.” Edward membaca kembali menu-menu yang tersedia di buku menu “Mbak saya
pesan Steak fried with honey, tolong dagingnya dipanggang agak lama sekitar 3
menit lebih, dan jangan lopa jeruk lemonnya juga yah, minumnya, jus Sunkist.”
“Saya juga
sama yah mbak, dan di tambah salat.”
Seorang
waitress perempuan mencatat semua pesanan mereka, “Baik saya ulang pesanannya
yah bu pesanannya, 2 porsi steak fried with honey, 2 cup Sunkist jus, dan 1
porsi salad. Ada lagi yang lain?”
“Pencuci
mulutnya, kasih pudding coklat dan strawberry yah mbak.” Tambah Edward.
“Okey, ada
lagi?”
“Sudah, kamu
Jess?”
“Udah itu
sajah,”
dan beranjak
memberikan pesanan mereka pada bagian dapur.
“Wah aq gak
nyangka, kamu tau juga makanan enak?”
“Hemm… baca
di ineternet, kalau ada waktu aq juga suka browsing-browsing tentang kuliner.”
“Wah
pengetahuan luas juga.”
“WAAAH, aduh
maaf aq lopa diri, belinya yang cukup mahal.” Bukannya Edward matre, tapi dia lupa
akan kebiasaannya kehidupannya di rumah.
“Tenang ajah
ko, Aq lagi ada rezeki nomplok jadi sekali-kali gak apa-apa lah.”
“Hmmm… kapan,kapan
aq yang gantian traktir kamu yah?”
“Ga sah lah ko?
Ngapain repot-repot.”
“Jangan,
aqnya yang ga enak ma kamu.”
“Haduh masa
pae gak enak segala, tapi bener nih, ko mau traktir aq?” Senyum yang sedikit
ada makna tersembunyi dari perkataan Edward.
“Iyah sebagai
permintaan maaf sudah menghabiskan uang kamu.”
“hahaha… okey
aq tunggu kabar dari mu yah?”
“Hmmm Jess
biasa makan disini yah?”
“Ah nggak
kalau ada bonus ajah, skali-skali boleh dunk kita makan enak, biasnya segh kaya
hokben atau makanan biasa juga jadi.”
“Oooo bgitu.”
Suasana jadi terdiam, Edward kehabisan topic karna menjaga groginya didepan
Jessica jadi membuat blank dalam fikirannya. Kemudian Edward menatap dengan
terpukau pada Jessica yang berada dihadapannya, difikirannya, Jessica yang
cantik, menawan, manis dan seksi, dan tampaknya baik menurut fikiran Edward.
Matanya indah senyum manis tanpa ada beban, dan saat Jessica menyibakkan rambut
terpancar sinar aura yang menggetarkan jiwa, dan mata hati nurani pun menjadi
buta, tak disangka dengan reflex tangan kanan Edward menyentuh tangan Jessica
di meja disaat Jessica sedang memandang pemandangan disekeliling mereka.
Terkejutlah Jessica dengan sentuhan itu,”Hmm… Kenapa ko?”
Terkejut
Edward dengan gelagap “Ah? Eh itu, ah emmm, err… maaf, aq aduh, toilet dimana
yah?”…
“tuh di
koridor pojok sana.”
“Aduh,
gobloknya gw.” Edward menyesal dalam hati, dan bergegas ke toilet menahan
malunya.
*
* * * *
“Ahahaha…
malu-maluin banget segh dia Yang?”
“Ahahaha…
iah, dia mang begitu, badannya sajah yang besar tapi sama cewek dia pemalu dan
malu-maluin, hahaha…”
“Ahahaha…
Trus-trus Yang, gimana hubungan mereka bisa putus dan ketemu sama Eyang.”
“Saat itu
Edward gak mau cerita sama Eyang bagaimana dia nembak Jessica saat itu, dan
giamana mereka putusnya, yah maklumlah namanya juga orang tak mau membuka masa
lalunya yang pahit. Tapi Edward mulai bercerita sedikit-sedikit, tentang
hubungan mereka. Edward telepon-teleponan ma tuh cewek sampai malam, dan disitulah
awal mulanya mereka saling berhubungan ……..”
*
* * * *
Seorang mas-mas
pengantar kuliner menelusuri koridor mall, membawakan sebuah box makanan
memasuki ruang Gallery IM2.
Gallery IM2, “Maaf
Mas ada perlu apa yah?” sambutan dari OB di gallery IM2.
“Ini ada
kiriman untuk Pak Edward.”
“o itu, Pak
Edwardnya Mas.”
Edward
tersenyum dan melihat paket makanan yang diantar oleh seorang pegawai kuliner
yang berpakaian seragam Hok Ben (Hokka-Hokka Bento).
“Yah makasih
yah Mas, berapa totalnya?”
“Sudah
dibayar semuanya Pak.”
“Oh, Makasih
yah.”
“Sama-sama
Pak.”
Dengan
bergegas box makanan terbut dibawanya keruang pantry, diambil ponelnya dan
menekan nomor kontak Jessica. “Hallo ko, makasih yah sarapan paginya, tau aja
orang belum sarapan,hmm… pasti paketnya dah sampai yah?”
“iyah nih
Jess, udah sampai.”
“Ya dah makan
dulu yah, dihabisin loh, awas sampai nggak.”
“Okey…”
Setelah
menutup ponsel, dengan segera membuka box makananya dan … … …
“Perasaan gw, gw dah kasih tau dia deh gw alergi seafood. Aduh gimana nih? gak makan gak hormatin, makan gwnya alergi. Ah bodo ah, udangnya ga gw makan dari pada gw-nya kenapa-kenapa.”
“Perasaan gw, gw dah kasih tau dia deh gw alergi seafood. Aduh gimana nih? gak makan gak hormatin, makan gwnya alergi. Ah bodo ah, udangnya ga gw makan dari pada gw-nya kenapa-kenapa.”
Ponsel
berbunyi, dan saat diangkat, suara lembut dan manja terdengar, “Hallo…”
“Hallo Jess,
ini agy makan.”
“O masih
makan yah? Gimana enak gak?”
“Enak kuq,
hehe…”
“Habis?”
“Udah, udah
habis kuq.”
“Boonk…
Udangnya ga di makan….hehehe…” Sahut Mas Fajar yang sedang iseng.
“Sssstttt …
Mas,” Edward member tanda diam pada Mas Fajar, Mas Fajar hanya cengengesan
sajah.
“kuq, gak
habis? Aq gak suka yah sama cowok yang pilih-pilih makanan.” Ketus Jessica
ditelepon.
“Iah… iah aq
makan.” Edward berpura-pura bersuara memakan udangnya. Mas Fajar sedang asyik
menahan ketawa melihat kelakuan Edward. “Yah sudah yah, nanti aq telepon agy,
dah mau kerja lagi.”
“Okey, jangan
capek-capek yah ko.”
Ponsel, di
tutup, “Kacau lu Mas, pakek ngadu segala, grrr…..” ocehnya.
“Hahaha…
sorry bro, peace bro hahaha…” Mas Fajar menu pintu pantry, dan kembali kemeja
kerjanya, kebetulan suasana Gallery sedang sepi,dan mengumumkan pengumuman yang
penting “OI BRO,DI BLAKANG ADA YANG HABIS DIOMELIN MA CEWEKNYA KARNA GAK MAKAN
UDANG.”
“SUSIS DONK.”
Sahut Rizky.
“SIAL LU
MAS,” “sial pake di umumin keluar, “”PAKE TOA AJA SKALIAN, nyebelin.” Umpalnya.
Malam yang
disambut oleh rembulan malam yang telah benderang menerangi kanvas hitam di
atas langit Dunia ini, Suara deru motor yang sedang melewati jalan Gajah Mada,
Jakarta . Edward berhenti sejenak di sebuah trotoar, mendengar ponsel yang
berbunyi. Tertera nomor Rumah yang sedang menghubungi.
“Hallo,”
suara wanita baya yang menyapa.
“Hallo Ma.”
“Kamu, Kamu
sudah puas belum dengan perbuatan kamu? Setiap hari hanya bisa bikin orang
cemas. Ga ada kabar, ga ada berita. Setelah bertengkar dengan papa mu, kamu
pergi begitu sajah. Kamu ngerti ga segh jadi orang?”
“Iah mah,
maaf Ma, Nanti aq pulang, tapi ga saat ini.”
“Apa
maksudnya?”
“Ma beri aq
kesempatan, beri aq waktu, aq ingin jadi diri qu sendiri ma.”
“Jadi kamu
anggap Orang Tua kamu apa? Makin di-didik makin ga tau ajaran. Kamu mau pulang
atau ga usah sama sekali?”
Disamping
itu, ada sms dari dedenya, #ko, sry, ma2 tau bkn dr aq,ma2 check hp aq, aq lupa
hapus historynya#
#iah udh,
gpp# balas Edward.
“Iyah Ma, aq
nanti pulang, beri aq waktu lagi.”
“Siapa Ma?”
suara Pria baya dari jejauhan, “Si Edward yah? Sini Papa mau bicara sama anak
kurang ajar itu.”
“Bukan Pa,
ini teman arisan mama.” Ditutupnya telepon itu, dan segera bergegas menyusul
Papa untuk mengambil jas dan tas kerja suaminya dan diletakannya diatas sofa
untuk sementara, “Mpokk, buatin kopi buat Tuan.”
“Iyah Nyah,”
sahut mpok di dapur blakang.
Papa Edward,
duduk rebahan di sofa nan besar, “Anak sontoloyo, ga tau diri, ga ada kabar
berita bikin orang kahwatir. Di suruh pegang perusahaan malah kabur ga ada
kabar, sialan. Mau jadi gelandangan itu anak kurang ajar itu?”
“iyah pa,
sudah yah, sabar kasih waktu Edward buat mikir yah.” Istrinya duduk disamping suaminya
dan mengelus-elus dada suaminya.
“Mending gak
usah lahir saja itu anak, kerjaannya slalu buat ulah, dan bikin pusing aku
sajah.”
“Ya sudah sabar Pak, Kasi anak itu waktu buat mikir. Nanti dia juga pasti balik ke rumah lagi yah pa yah. Kita percaya sajah sama dia dulu, sabar pah kasi dia waktu yah, mungkin dia lagi butuh waktu untuk sendiri dulu yah.”
“Ya sudah sabar Pak, Kasi anak itu waktu buat mikir. Nanti dia juga pasti balik ke rumah lagi yah pa yah. Kita percaya sajah sama dia dulu, sabar pah kasi dia waktu yah, mungkin dia lagi butuh waktu untuk sendiri dulu yah.”
“sendiri apa?
Kluarga dia disini, mang keluarga dimana keluarganya. Kamu taukan satu-satunya
harapan qu adalah dia untuk meneruskan perusahaan keluarga kita, tapi tiba-tiba
dia hilang begitu sajah.”
“Ia pa, anak
nya sudah tabiatnya begitu. Ya sudah sekarang papa pergi mandi air hangat sana,
sudah mama siapin,”
“Ya sudah,
pusing aku mikirin anak kurang ajar itu.” Beranjaklah Papa ke kamarnya, dan
mama memijat-mijat kepalanya, “haduh anak ini bikin pusing” dan mama pergi
menyusul Papa ke kamar mereka. Melihat kondisi yang agak tenang dari tangga
atas, Christine adik perempuan dari
Edward segera masuk kembali ke kamarnya.
#KO Pa2 &
ma2, udh pd tenang, ko lu segh cari masalah cepat pulng# sms dari Christine
Edward tak
membalasnya, dimasukkan ponsel kedalam saku celananya dan mengambil bungkusan
rokok, diambilnya sebatang dan dibakarnya. Tak jauh dari tempat Edward berada,
di halte bus, ada seorang gadis dengan pakaian kantornya dengan blazr juga rok
sepanjang lututnya, yang baru sajah pulang kerja sedang menunggu Taxi di halte
bus. Dengan gaya ugal-ugalan pemuda berpakaian preman datang menghapiri gadis
tersebut. “Eh Eneng sendirian ajah, Neng.”
Tak ingin menanggapi
dia berusaha menjaga jarak, “Neng jangan sombong dunk sama abang, kan kita Ce
es-an,”
“Ih, siapa
lo,” sahut gadis tersebut dalam hati, keadaan mulai tak enak, semakin
menjauhkan diri dari preman yang SKSD duduk disamping gadis itu, dan akhirnya dia
terpojok, “Hehehe… mau kemana lagi neng, eneng ga bisa kemana-mana lagi neng,
montok bener neng.”
“Mas jangan
kurang ajar yah.”
“Sini tasnya,
” Dengan geram preman tersebut mencoba merampas tasnya tapi mendapatkan
perlawanan dari gadis tersebut. “Tolong, RAMPOK TOLONG RAMPOK.”
“Berisik lu,”
saat tangan Preman sudah akan melayang ke pipi gadis tersebut, dan “BUUUG” Helm
tepat sasaran mendarat ke muka preman tersebut. Mencari-cari siapa yang lempar.
“Woi, Anjing
lo yah,” Terjadilah pertengkaran kecil disana, hantaman-hantaman dari pemuda
tersebut melayang dengan cepat dan bertenaga, membuat preman tersebut
kewalahan. Melihat tasnya terkapar di jalan, segera diambilnya. Pemuda itu
berbalik badan dan menghampiri gadis tersebut, “Maaf kamu gak apa-apa? ada yang
terluka ga?” Tanya Pemuda itu pada sang gadis.
“Itu, dia
bangun lagi,” dengan lunglai, preman itu berusaha bangkit, melihat pemuda itu
masih ada dihadapannya, dia pergi. “Kayany sudah aman, dia ga akan berani
kesini lagi, yah untuk sementara waktu.”
“I, I, iyah,
makas, sih yah,” jawab si gadis dengan perasaan yang masih shock dengan
kejadian yang singkat barusan. “Okey kalau gitu, saya tinggal yah?”
“I,I, iyah.”
Pemuda itu
meninggalkan si gadis di Halte, mengambil motornya dan berhenti dihadapan si
gadis, menyodorkannya helm. “Ayo, gw antar aja, sudah malam, agak rawan
disini.”
“Nggak
apa-apa nih? Ngerepotin banget.”
“Gak pa-pa,
diamana lu tinggal?
“Kost gw gak
jauh dari sini,”
“Ya sudah ayo
naik,” Dengan segera si Gadis itu menaiki motor pemuda itu, dan melaju dengan
cepat, karna dengan kaget kecepatan yang dibawa pemuda tersebut, mau tak mau gadis
itu memeluk erat perut pemuda itu. Sesampainya di sebuah gang, Gajah Mada yang
tidak terlalu jauh dari Halte tadi sekitar 10 menit perjalanan. “Okey, dah
disini ajah, dah deket banget kuq.”
“Bener gak
pa-pa disini ajah?”
Gadis itu
turun dari motor dan melepaskan helmnya, dan mengembalikannya “Iah ga sah
repot-repot lagi, itu kostsan gw,” Menunjukan jari telunjuknya ke sebuah
bangunan kostsan bertingkat,”nih, makasih yah tumpangannya.”
“iyah, ya
sudah yah, gw balik dolo.”
“Okey, Dah…”
Lambaian slamat jalan pada pemuda itu, “Aduh gw lopa lagi nanya siapa namanya.
Aduh moga-moga bisa ketemu lagi ma tuh orang, kerenz juga tuh cowok.” Dan si
Gadis masuk ke kostsannya.
*
* * * *
“Ah si Eyang
saking terpesonanya sama Eyang Edward ampe lopa diri, Hahaha…”
“Hahaha iah,
Eyang jadi lopa pas itu, habis yang nongol cowok ganteng segh, apa gak bikin
Eyang kelepek-kelepek?”
“Tapi keren
juga yah Yang, ditolong oleh pangeran tampan kaya Eyang Edward, aaaaahhhh…. Co
cweeettt… Trus Yang gimana lagi ceritanya?”
“Terus
ceritanya, sekarang sholat dulu, liat dah jam berapa,” tak lama selang waktu
beberapa detik, Azan Maghrib di kumandangkan dan waktu sudah menunjukan pukul
18.00 WIB. “Ayuk, sekarang kamu pergi sholat, bantu Eyang dan mbok di dapur,
sebentar lagi Papa dan Mama kamu pulang, pasti mereka capek. Dan betapa
bahagianya, kalau saat mereka pulang mama dan papa kamu melihat kamu memasak
untuk mereka,” dan diakhiri senyum manis dari Eyang dan kecupan hangat di
kening cucunya.
Emma beranjak
dari tempat Eyangnya, langsung menuju kamarnya untuk sholat, kemudian ke dapur untuk
membantu si Mbok, diselang itu Tarry masih melihat-lihat foto mereka saat
mereka bersama. Diambilnya foto Edward dan dikecupnya dan didekapnya dengan
kerinduan, dikembalikan foto itu ke dalam kotak, dan di taruh di atas nacase
yang berada disamping tempat tidurnya, kemudian menyusul Emma di dapur.
Suara mesin
mobil yang berhenti didepan pintu rumah, dan pintu rumah terbuka, dan pulang lah
sepasang suami istri yang bahagia, dengan setelan orang yang bekerja di
perkantoran. “Hmmmm wangi… apa nih? Sedap bener wanginya.” Ucap Pria baya yang
memasuki rumah sambil menggandeng istrinya. Dan Bi Endang menutup kembali pintu
rumah, dengan sikap sopan Bi Endang jalan membungkuk, berlari kecil menuju
dapur. “Papi, Mami….” Sorak Emma dan pergi memeluk dan mengecup pipi Papa dan
Mamanya. “Tumben anak mami yang manja ini sambut kita yah pih?”
“iyah nih,
biasanya mewek ajah kerjaannya di kamar.”
“Ah Papih
mah, Eyang, Papih jahat nih. Emangnya aq secengeng itu?”
“Sudah,
sudah, Silvia, Jimmy ayuk makan malam dulu, baru mandi mumpung masih hangat.”
“Iyah Ma,”
sahut Jimmy, mengambil blazer dan istrinya, dan di taruhnya di atas sofa. “Yuk,
Anak mami yang manja satu ini,” dipeluk sayang anak gadisnya dan mengecup
keningnya, mengajak anaknya menghampiri Tarry, dan mengecup tangan bundanya
sebagai salam.
Di sela-sela
makan malam, Emma membuka pembicaraan, “Mih tadi Eyang cerita tentang cinta
sejati Eyang yang dulu loh, seru loh mih.”
“Hahaha… ia
mah, cerita mama yang dulu sama Pa….”
“Ehem, ehem…
Silvi, ssst…” segera di sela oleh Tarry memberikan isyarat untuk diam, seperti
menempelkan jari telunuk dibibirnya, “Nanti ga seru Sil ceritanya.”
“Iyah mih,
cerita sama Eyang Edward, co cweet bangat loh mih.”
“Emma yang
beresin piring dan mejanya yah? Nanti Eyang lanjutin ceritanya.”
“Okey Eyang.”
Dengan bergegas, Emma bangkit berdiri segera membereskan piring-piring kotor
dan meja, sementara itu Tarry dan SIlvi sudah berada di ruang keluarga, dan
duduk di sofa yang empuk. “Mah, memangnya mamah sudah cerita sampa mana?”
“Baru bagian
awal Sil,”
“Pantesan,
mama cegah aq ngomong, takut dia bingung nantinya.”
“iah makanya
itu, kalau gak tar ga seru juga hahaha…”
“Mamiiii…
Eyang…” datanglah Emma yang langsung menyenderkan badan ke bahu mamihnya dengan
manja. “Eyang terusin dunk ceritanya!”
“Mamih kamu
saja yah yang nerusin ceritanya…”
“Memangnya
mamah sudah cerita sampai mana?”
“Sudah mau
sampai mamah mau kenalan ma dia,”
“Hmmm…. Oh
yang mama ma dia ketemu di tok buku yah?”
“Ia yang
itu,”
“O itu ia, aq
masih ingat…. Waktu itu… setelah sekian waktu setelah Eyang kamu ini di antar
pulang sama Eyang Edward, mereka ga sengaja bertemu di toko buku…. ….”
*
* * * *
Dengan cepat
berlalu Mentari pagi berubah kanvas langit birunya menjadi senja, dan dunia
sedang akan menyambut malam dengan rembulan yang berada di atas langit malam,
selesai semua pekerjaan, Edward membereskan meja kerjanya, dan ke belakang, ke
pantry untuk kembali mengganti pakaian tugasnya ke pakaian normal. “duluan yah
mas Bro.” salam perpisahan pada
seniornya yang sedang santai di meja kerjanya.
“Yups,
hati-hati bro.”
Tak langsung
kembali ke kostnya, Edward mencari-cari buku referensi atau novel-novel yang
menarik untuk dibaca, membaca buku salah satu hobinya. Sedang asyik-asyik
mencari ada sebuah buku novel yang menarik dan sebuah moment yang menarik
terjadi, tangan seorang gadis sudah menyambar buku itu dan Edward sedikit telat
jadi yang yang di sambar bukan buku melainkan tangan seorang gadis. “Eh sorry,
gw ga sengaja.” Ucap Edward.
“Eh ga
apa-apa.” Si gadis menatap wajah Edward. “Eh, kamu, kamu kan yang waktu itu
sudah nolongin aq, makasih yah.”
“Ooo waktu
itu kamu yah? gimana? Sudah ga kenapa-kenapa kan?”
“Iah, makasih
banyak yah, lu suka baca novel juga?”
“Yah, buat
ngisi waktu luang ajah segh.”
“Hmmm… inih
buat lu aja,”
“Hah? Ga usah
lu ja, lu yang lebih dulu, gw bisa cari yang lain kuq?”
“oh iyah,
nama gw Emma Lestari, panggil gw Tarry ajah yah.” Gadis itu yang bernama Emma
Lestari atau Tarry, memulai mengajaknya berjabat tangan. Di benak Edward
berkata, “cewek ini maniz juga yah.” Edward menyambut tangannya, “Aq Edward.”
“Kerja
dimana?”
“di Galley
IM2, sebagai csr.”
Sambil
mencari-cari buku novel yang lainnya mereka pun terus saling bercakap. “Csr itu
kerjanya gimana?” Tanya Tarry pada Edward.
“Kerjanya,
yah terima complain, setting, jual produk, menjelaskan produk jasa internet
yang ditawarkan, yah seperti itulah. Hmmm kamu sering pulang malam seperti
kemaren?”
“Ah nggak,
kemaren kebetulan lagi lembur aja aq,”
“Mang kerja
apa?”
“Yah saat ini
aq masih kerja sebagai admin diperusahaan asuransi.”
“Ohh begitu,
lancer dunk kerjaanya?”
“Yah,
lumayan, lumayan pusing juga segh ngurus data dan form-form para client.”
“O begitu,
bisa dibayangkan,” Edward bergaya sepeti orang pintar mengetuk-ngetuk bibirnya
dengan jarinya.
“hahahaha…. Kamu
lebay ah.”
“hehehe…
Habis ini mau kemana?”
“Mungkin
pulang ke kost-an, kamu?”
“Aq kayanya
mau ngambil beberapa gambar.”
“Maksudnya
kamu fotografi gitu?”
“Yah sedikit
meluangkan hobby, hehehe… Hmmmm… ga ada yang seru lagi nih novelnya,
kapan-kapan aja deh balik ke ini lagi.”
“Kalau gak
buku ini habis gw baca gw pinjamin ke kamu, berapa PIN kamu?” disiapkannya
ponsel BB (black berry) untuk memasukkan kontak baru.
“Aq gak punya
BB, sms ajah ke 081380866186” Selesai mencatat dimasukkan kembali BBnya ke
dalam tas mungilnya. Dengan akrabnya mereka berbincang padahal baru saja saling
mengenal.
“Yuk, kita ke
kasir.” Sambil menunggu antrian yang cukup panjang, mereka masih melanjutkan
pemicaraan. “hmmm… km mau ngambil gambar dimana?”
“di parkiran
atas, biar dapat pemandangan yang bagus.”
“Wah kayanya
seru tuh yah.”
“Kapan-kapan
aq yang jadi modelnya yah? hehehe…”
“Yah boleh
ajah.”
“oh iyah, km
kost diamana?”
“Di mampang
prapatan, daerah Karet Jakarta selatan, eh iyah, km kan…”
“Malam Mbak,”
terpotong pembicaraan mereka karana Tarry sudah berada di depan kasir,
disodorkannya buku-buku novel yang dia ambil untuk di bayar. Selesai Tarry,
kemudian giliran Edward. Dan Tarry sudah menunggunya di pintu depan took
Gramed, “Eh, tadi kamu mau ngomong apa?”
“Nggak cuman
mau Tanya, kamu kan ngekostnya di Gajah mada kuq, mainnya kesini?”
Tak ada
jawaban dari Tarry, dia sedang terpaku dengan pria yang masuk kesebuah resto,
hatinya penasaran, dengan gelisah Tarry meningglakan Edward yang sedang
kebingungan dengan sikap Tarry. Sesampainya di Resto, Tarry hanya bisa
melihatnya dari kaca luar, Edward yang mengikutinya, penasaran apa yang sedang
dilihat Tarry, dilihat kesana kemari dan terdapat sebuah adegan dimana sang
pria yang baru saja tiba sedang mengecup mesrah bibir teman wanitanya yang
diduga mungkin ini yang sedang dilihat oleh Tarry, kembali melihat Tarry yang
sudah meneteskan air mata, saat Pria yang dilihat Tarry menggandeng teman
wanitanya keluar dari Resto, Tarry agak mulai bersikap panik berusaha menutupi
wajahnya karna tak ingin ketauan oleh Pria itu. Edward mengerti situasi yang
sedang terjadi, dipegangnya lengan Tarry dan telah melihat mata Tarry
meneteskan air matanya, dan mendekap kepala Tarry didalam pelukkannya. Tarry
menangis didekapan Edward menahan suara agar tidak menarik perhatan di tempat
umum. Pria dengan wanitanya tadi di dalam Resto, baru sajah melewati mereka
berdua dengan cuek menghiraukan apa yang terjadi.
Setelah
kejadian yang cukup membuat Tarry shock, Tarry yang turun dari motor Edward,
berjalan lunglai menuju pintu pagar kost, badannya berbalik “Makasih yah Ward.”
“Iyah
sama-….” Belum tuntas kata-kata yang ingin disampaikan, Tarry langsung masuk
dengan muka suram ke dalam kostannya. Edward mengerti apa yang dirasakan oleh
hatinya Tarry saat ini, terlihat sebuah kamar dilantai dua yang baru menyala,
Edward menduga mungkin itu kamarnya Tarry. Entah apa yang terasa dihati,
mengapa dia juga bisa merasakan apa yang dirasakan dan juga bersedih, merasa
prihatin dan merasa ingin terus mendekapnya seperti waktu di Mall, ingin menaga
dirinya.
Tarry yang
menyalakan lampu kamarnya, wajahnya masih lembab, makeupnya luntur akibat airmatanya,
dia bersandar dibalik pintu kamarnya, dan terduduk dilantai kamarnya.
*
* * * *
“Aduh nyesek banget tuh pasti
yah Yang?”
“Yah saat itu segh yah iyah,
sekarang kan udah masa lalu.”
“Sudah, ini sudah malam,
sekarang waktunya kamu tidur besok km mau sekolah Emma.” Menepuk-tepuk tangan
Emma dengan lembut seperti bayi kecil yang dirangkulny.
“Tapi masih pengen denger mih.”
Rengek manjanya Emma.
“Ngak, udah, km ini kan
bangunnya suka telat apa lagi tidurnya malam.”
“Ah Mamih…” Emma memasang muka
memelasnya kepada mamihnya, tapi tetap sajah Silvi memberikan tanda tidak dan
menunjuk masuk kamarnya dengan tegas.
“Iya deh,” akhirnya Emma
menyerah juga, dengan hati yang penasaran kembali ke kamarnya. Tapi pembicaraan
itu belum selesai, setelah Emma ke kamarnya.
“Mah, sangat disayangkan yah, Aq
lahir tapi Papa pergi, jadi aq gak bisa melihat sosok Papa seperti apa?”
“yah namanya juga sudah jalan
takdirnya yang diberika Allah kepada
kita sil, yah kita yang disini jalani sajah dengan iklhas.”
“Aku jadi kangen sama papa,”
“Yah mamah juga, meski mama
sudah menikah dengan Brata, tapi hati mama selalu memikirkan dia.”
Silvi dan Tarry saling
memberikan pelukkan hangat, dan saling mengelus punggung mereka. Tarry
mengingat kembali masa-masa itu, kenangan memori yang begitu kuat dan kan
selalu melekat di dalam fikiran dan hatinya.
*
* * * *
Sudah dua
minggu berlalu dari kejadian di Mall, dan semenjak itu Tarry tak pernah
menghubungi pia itu, entah bagaimana mereka memutuskan hubungan mereka, tampaknya
setiap Tarry bertemu di kantor mereka tak pernah bicara, dengan keputusan berat
hati namun pasti. Tarry pun sudah jenuh bekerja dengan suasana kantor seperti
ini, maka ia memutuskan untuk resign.
“Kamu sudah yakin dengan
keputusan kamu?” Pria baya yang sedang duduk di kursi manajer, menimang-nimang
surat resign dari Tarry.
“Iah Pak, saya ingin berhenti
Pak.”
“Alasannya?”
“Saya ingin mencari yang lebih
baik lagi Pak.”
“Begitu, apa disini masih kurang
baik.”
“Bukan begitu pak, saya harus
mencari penghasilan yang lebih untuk biaya keluarga saya di Cikarang.”
“Oh begitu, okey saya mengerti
yang km rasakan, bapak sebenarnya tau apa yang terjadi antara kamu dengan Aldy
juga Vera.”
“iah pak, maaf sudah membuat
bapak pusing dengan hasil kinerja saya pak selama dua minggu terakhir ini.”
“yah sudah ga pa-pa, bapak
ngerti, ya sudah, ini tugas buat km yang terakhir, tolong jangan sampai salah
yah pendataan client-client kita.”
“Iyah, Pak makasih yah, Pak.”
“yah, silahkan…”
Tarry kembali ke meja kerjanya, untuk menyelesaikan
pekerjaan yang sedang diberikan oleh atasannya. Terlihat box launch diatas meja
kerjanya, dengan bingung diambilnya surat yang terjepit dengan karet diatas box
launchnya.
“Hey Tarry,
Selamat menikmati yah, meski
sibuk kerja jangan biarkan perut kamu kosong yah!”
From,
Edward. “
Senyuman pelangi terlukis
diwajahnya.
“Ehem, dari siapa tuh tumben
banget Aldy romantic kaya gini?” goda teman sepekerjanya, yang bernama Revi
tertera di name tagnya.
“Bukan kuq Rev, bukan dari dia
tapi dari temen gw.”
“Hah? Siapa? Siapa? Dari siapa?”
“ieeww
kepo deh kamu say hahaha.”