Selasa, 18 Desember 2012

2-keyakinan cap I

Chapt I

Mentari disiang hari yang kini sedang meredakan panasnya dimana dunia kini akan merubah warna kanvas langitnya menjadi senja memerah, keramaian kendaraan yang sedang sibuk dengan bunyi-bunyi bisingnya, suasana berdesak-desakkan di terminal kota Cikarang, orang-orang yang berlomba dengan detik-detik waktu berlalu yang kan menjadikan dunia diselimuti selimut malam, mereka orang-orang yang ingin segera kembali ke rumah yang penuh kehangatan keluarga, yang menunggu mereka dari capeknya dan letihya setelah bekerja seharian mencari nafkah untuk keluarga, dan ada pun siswa-siswi yang ingin segera kembali kerumah mereka dengan membawa penat dikepala setelah beraktivitas belajar di sekolah mereka.   Di sebuah perumahan Cikarang saat ini, waktu menunjukan pukul 03.30 WIB, dari jejauhan lorong gang perumahan “Tap tap tap” suara langkah-langkah kaki gadis belia dengan cepat menusuri halaman rumah yang cukup megah, tergesa-gesa sembari merintikan dan menghapus airmata, berusaha menahan kekecewaan yang dia rasakan di dalam hatinya, melewati perkarangan rumah dan masuk ke dalam rumah melewati seorang nenek yang sudah cukup berumur. “Blllaamp…” suara pintu kamar yang ditutupnya dengan cukup keras, mengagetkan seisi rumah disiang hari.

“Astafirulloh” Terkejudnya Bi Endang, ketika mendengar suara keras tersebut, kebetulan si Bibi sedang mengepel lantai di depan ruang kamar gadis Belia tersebut. “Astagah Non, Emma bikin jantungan Bibi ajah, Non, Non.” Bi Endang menggelengkan kepalanya.

Seorang Nenek tua yang tadi baru sajah dilewati Emma yang sedang asyik nge-teh dan duduk di teras memandangi pemandangan perkarangan di depan rumah. Diletakkan gelas the-nya dan memasuki ruangan rumah dan bertanya pada sang BIbi, “Ndang, kenapa sama Emma?” tanya sang Nenek pada pembantu rumahnya Bi Endang.
Gak tau Nyah, kayanya Non Emma nangis, trus masuk ke kamarnya tuh Nyah.”
Si Nenek dengan perhatiannya menghampiri pintu kamar Emma dimana di pintu kamar itu terdapat tempelan warning “the girl room”, mengetuk pintu Emma dengan lembut pintu kamar “Emma… Emma… ini Eyang, kamu kenapa?” dengan perhatiannya sang Nenek bertanya pada cucunya dari luar kamar.

Yang terjawab dari ruangan itu, hanya suara isak tangis dan teriakan kekesalan, bahkan terkadang ada kalimat sumpah serapa, mengutuk kaum Adam yang telah melukai hatinya.
“hicks.. Gw benci, Gw benci sama lo, lo dah khinatin gw,dasar cowo berengsek lo” Emma mengucapkan kata-kata di depan bingkai foto yang dipegangnya, dimana terdapat foto mereka Emma dan pacarnya dan bertulisakan Emma Octaviany (tanda love) Bagas.

Nenek memasuki kamar Emma dan melihat keadaannya, kamar yang dipebuhi boneka-boneka Hello kitty, bernuansa pink dan putih. Dengan kasih sayang sang Nenek duduk di samping cucu-nya, membelai lembut rambut cucunya, dan dengan lembut Nenek bertanya “Kenapa ini? Kenapa ma cucu Eyang?”
“Kesel Yang, sakit rasanya.” Segera dipeluk Eyangnya dan menangis dalam pelukan Eyangnya.
“Iah, iah sabar yah… “ dipeluk hangat cucunya dan dibelai rembut cucu gadisnya.
“Kenapa sih Eyang, setiap cowo begitu? Selalu aq yang disakiti ma cowok-cowok, kayanya di dunia ini dah ga ada cinta sejati! Semuanya pada bermulut maniz Yang.” Begitu hasil hipotesa Emma.
“Nggak juga,Emma, mungkin lom ketemu ajah jodohnya Emma, Eyang dulu juga pernah mengalami dua cinta sejati.”
“Hah? Bener Eang? Eang Tarry pernah ngalamin? Sama siapa?” Emma merenggangkan sekilas pelukannya menatap wajah Eyangnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Salah satunya sama Kakek mu, Brata.”
“Trus yang satunya Eyang?”
“Ada dech, mau tau aja cucu Eyang ini.” Didekap kembali kepala Emma di bahunya.
“Mau taulah Eyang, sama siapa Eyang? Ceritain dunk!”  Emma melepaskan peluknya dan menggenggam kedua tangan Eyangnya, dan memasang wajah yang penasaran dan manja.
“Iyah, tapi sekarang kamu mandi ganti baju kamu dulu, baru Eyang ceritakan kisah Eyang.” Dirapihkan wajah Emma dari air matanya dan rambutnya yang agak berantakan. 
“Nggak mau, maunya sekarang, Yang.” Nadanya dengan manja, mengayun-ayunkan tangan Eyang.
“Mandi dulu yah cantik.” Sang nenek mengelus pipi cucunya yang cantik, mengingatkan dirinya yang dulu kecil.
“Ia deh Yang, tapi janji yah Yang, Nanti cerita?”
“Iaah cucu Eyang yang cantiq.”
Setelah Emma beranjak dari kamarnya menuju kamar mandi membawa handuk hello kittynya, Nenek pun menuju kamarnya, dibuka pintu lemarinya, mengambil sebuah kotak yang tersimpan rapih, dan dibawanya ke tempat tidur. Nenek duduk datas kasur dan membuka kotak yang berada dipangkuannya beberapa foto-foto masa mudanya bersama seorang pemuda, dan terdapat sebuah kotak cincin yang terbuat dari silver kenangan dari Edward. Terbayanglah wajah-wajah Edward yang tersenyum kepadanya, kenangan dimana Edward memanggil namanya “Tarry” nama panggilan dari Edward untuk Emma Lestari. Kenangan juga dimana Edward menggedong Tarry disepanjang jalan, kejutan-kejutan dari Edward saat moment penting.

Emma Lestari adalah nenek dari Emma Octaviany, dulu Tarry (Emma Lestari) pernah bercerita kepada anak-anaknya tentang kisahnya, dulu orang tua Tarry ingin menamakannya dengan nama Emma Octaviany karna bulan lahirnya Oktober atau Emma Lestari tapi dengan bimbang dan akhirnya mereka memutuskan untuk menamakannya dengan Emma Lestari, dan berhubung Emma yang kecil lahir dibulan yang sama dengan Neneknya, maka Tarry meminta anaknya untuk cucunya diberi nama yang mirip dengan dia yang dulu yang dia ingin gunakan Emma Octaviany.

Setelah beres semua dan berpakaian rapih, Emma menghampiri Eyang Tarry di kamar beliau, “Eyang, Eyang Tarry.” Panggil-panggil Emma dan melihat kotak yang dipangku oleh Eyangnya, “Kotak apa itu Eyang?”
“Eh cucu Eyang, sini duduk dekat Eyang.”
Dihampirinya Eyang Tarry da duduk disamping, dan melihat barang-barang milik Eyang Tarry. “Wah siapa tuh Yang? Ini yah pacar Eyank waktu masih muda dulu?”
Eyang Tarry hanya membalasnya dengan senyuman merangkul cucunya, dan mengambil selembar foto Edward dengannya, “Gimana ganteng gak pacar Eyang?”
“Ganteng Eyang hehehe… Jadi ini toh cinta sejati Eyang.”
“Iaaah sayang.” Dipeluk gemas cucu kesayanganya dan tertawa kecil dengan memerah wajahnya.
“Trus dia dimana sekarang Eyang?”
“Dia sekarang berada di tempat yang jauh, tempat yang aman.”
“Maksudnya Eyang?”
Sambil menunjukan selembar foto Edward pada Emma “Jadi begini awalnya ceritanya, namanya Edward, orangnya baik, sayang ma Eyang,  Eyang suka marah, dia selalu sabar ma Eyang, pengertian banget orangnya, selalu mengingatkan Eyang.”
“Cieeee Eyang,Trus Yang, awal kalian ketemuannya bagaimana?”
“okey, Eyang certain dari awal yah?”
Emma memperhatikan Eyangnya, dan menyimak setiap perkataan yang keluar dari mulut Eyangnya, dan dimulainya cerita ini … ...

* * * * *

Thamrin city, yang terletak dipusat kota Jakarta yang megah dengan gedung pencakar-pencakar langit yang mewah. Dan disinilah terdapat bundaran HI yang terkenal sebagai pusat kota Jakarta dan juga sebagai pusat kemacetan kota Jakarta, disinilah pertemuan semua kendaraan-kendaraan bermotor berdesakan apa lagi dipagi hari ini semua orang saling mengejar waktu untuk masuk kantor dan adapun para supir angkutan umum yang saling mengejar uang setoran. Dia seorang pemuda dengan motor hondanya yang tak kalah kesalnya, memberi klakson dan umpat sial pada supir bus yang memotong jalan yang berada didepan.  Ditambah dengan matahari yang mulai memberikan hangat yang cukup lebih, dan hawa panas yang berasal dari kendaraan yang bergerumul membangkitkan emosi jiwa semua para pengguna jalan.
Terlepas dari kemacetan yang luar bisa menumpukkan kekesalan dalam hati, dia yang bernama Edward peranakan dari suku budaya Tiong Hoa, melaju dengan cepat motornya, meninggalkan para pengguna jalan yang masih terjebak macet dibelakangnya. Sampailah di tempat dia bekerja Plaza Semanggi, melaju sampai parkiran motor, melepas helm dan headset, sekilas terdengar lagu-lagu koleksi mandarinnya yang berasal dari speaker headsetnya. Melalui pintu belakang Plaza, dan menaiki beberapa anak tangga escalator yang masih nonaktif sampai ke lantai 2, dan berbelok kearah kiri sampailah dia pada sebuah Galery provider yang bertulis IM2 Gallery. Edward bekerja sebagai CSR IM2, yang bertugas menghandle komplein, setting dan penjualan jasa provider internet dibawah naungan perusahaan Indosat.
Diambil sebatang rokok dari sakunya, dan membakarnya di ruang pantry, dihirupnya asap nikotin tersebut dan dihembuskan melalui mulutnya, dihisap kembali dan disebarkan asapnya melalui hidungnya. “Ringtone handphone” diangkat handphone dari saku bajunya dan terdengar suara seorang gadis muda dari jejauhan, “hallo ko?”
“Ia Hallo,” sahut Edward.
Tersedengar suara tarikkan nafas yang mendalam, dengan sigap Edward menjauhkan ponsel dari daun telinganya. “HEI KOKO JELEK LU MAU SAMPE KAPAN MAIN PETAK UMPAT HAH?” “ LU UDAH DI CARI PAPA DAN MAMA TAUK? AQ DAH GAK BISA NGEHINDAR LAGI, RESEK BANGET SEGH LU KO, GW NIH YANG KENA IMBASNYA. KAPAN MAU PULANG?” Suaranya yang besar dengan nada yang panjang dan sedikit amarah tak ada titik ataupun koma, terdengar kembali gadis muda tersebut atau adiknya Edward sedang mengatur nafasnya.
“iyah, maaf koko nanti pulang kalau sudah saatnya yah.”
“tapi kapan ko? Dede dah gak bisa ngehindar lagi dari papa dan mama, mereka nanya aq terus, soalnya pernah ketauan pas koko telepon aq.” Suaranya tercampur dengan isak tangis.
“Iyah nanti koko kasi tau yah kapan koko pulang.”
“Kapan ko? Dede dah pusing , Dede ga tau bisa sampai kapan bisa tutup mulut.”
“Secepatnya yah De, Ya dah koko kerja dulu yah sekarang., pokoknya kamu ga usah khawatir kasih koko waktu sebentar lagi yah? Okey?”
“Iah, cepet yah, Dede kangen ma koko, si Dede Septian juga nyariin koko terus.”
“iyah, iyah, ya sudah ya, koko mau kerja dulu yah.”
Usai mengakhiri pembicaraan mereka melalui telepon, Edward mematikan batang rokoknya dan mengganti pakaiannya dengan seragam CSR-nya. Tugasnnya sebagai CSR dimulai dari 9.30 sampai dengan 17.30. Tak terasa mentari yang tadinya sedang teriknya diluar gedung dengan cepat sudah akan terbenam, senja pun tiba, saat Edward yang akan hendak meninggalkan meja kerjanya, datanglah seorang gadis muda, perawakan Tiong  Hoa, yang manis dan cantik dengan tinggi sekitar 170cm,berkulit putih, berambut hitam dan panjang, memkai pakaian yang seksi dengan dan-danan yang begitu menggugah hati setiap pria. Bahkan para senior dan teman kerja Edward sangat iri dengan keberuntungan Edward yang menerima client gadis muda yang sangat cantik itu.
 “ko, ko minta tolong dunk, ini laptop saya gak bisa intenetan?”
“Maaf mbak, sama saya sajah, si kokonya dah selese tugas,” salah seorang teman kerjanya yang ingin mengambil jatah Edward.
“Apaan segh mas, saya minta tolong ma koko ini.” Sedikit bernada ketus.
Edward menepuk pundak kawannya “Ya sudah bro, sorry yah bukannya gw gak mau kasih ke lu yah hehehehe, dia maunya ma gw tuh hehehe.” Ejek Edward pada teman kerjanya. “Yah, ada yang bisa saya bantu?” Tanyanya, dan sambil kembali kebangku kerjanya.
“Begini, 5 menit yang lalu saya bisa browsing, tapi sekarang sedang ga bisa, saya lagi penting nih, mau kirim email hasil kerjaan saya ke atasan saya.” Wah wah bagaimana Edward tak terpikat, dia manis dan bersuara merdu bahkan bertutur lembut kepadanya. “Okey saya check dulu yah.” Pengecekan dilakukan dan ditemukanlah kendala pada modem USB-nya yang sudah hangus terbakar (biasanya dikarnakan pemakaian yang berlebihan dar batas wajarnya).
“Maaf nih ci,”
“Aduh Jangan panggil aq cici, aq lebih muda dari kamu ko, panggil aja Jessica.”
“Okey, Jes, gini yah, sudah saya periksa dan ini masalahnya, modem USB kamu sudah rusak, alias sudah R.I.P karna mungkin karna pemakaian yang berlebihan.”
“Ia segh aq pakainya seharian terus online, trus gimana dunk, aq mau kirim email?”
“Ya sudah mana datanya? biar aq bantu kirim dari kompi (computer).”
“Bener nih, gak apa-apa?”
“Gak apa-apa.”
“Atasan kamu gak marah?” sambil menunjuk seseorang yang sedang berdiri dan memperhatikan mereka di tempat kerja Edward. “Ah, dia, tenang ja, mana berani dia ngomel ma aq.” “Yah khan mas Fajar? Boleh pake kan kompinya?”
“Oh boleh, boleh, silahkan saja, asal bagi nomor teleponnya dunk” jawaban dengan topeng senyum manisnya. Tak di tanggapinya perkataan mas Fajar, namun tetap saja Jessica mengambil secarik kertas didekatnya dan menuliskan nomor ponselnya, kemudian menyodorkannya kepada Edward. Edward mendiamkan saja kertas itu disamping keyboard.
“Okey, see what I say. Well where your file? I want to help you to sent it to your boss (bhs. Inggris).” Segera dieksekusikan (dikerjakan) mengcopy data melalui flashdisk, dan menancapkan flashdisk ke kompi. Jessica berpindah tempat berdiri sedikit membungkuk presis disamping Edward, Edward terpesona hatinya, mencium wangi parfum tubuh dari Jessica dan rambut yang halusnya jatuh menyentuh lengan Edward. “hey, kok bengong ko?”
“Oh ya, sorry… okey sorry, kamu yang kirim sendiri sajah yah?” Edward menyerahkan keyboard pada Jessica.  Dan setelah selesai pengirimannya, “Okey makasih yah, sudah dibantu ma kamu, oh iyah, namau siapa? Dari tadi kamu ajah yang tau nama qu, aq belum tau nama kamu.” Jessica mengulurkan tangannya, dan dibalas oleh Edward, “Edward.”
“oh yah, trus gimana nih soal modem qu?”
“Yah mau gak mau, beli baru. Di sini ada jual kuq.”
“Berapaan ko?”
“Sudah tau nama, panggil nama sajah yah. Sekitar empat ratus lima puluh ribu rupiah.”
“Wah mahal juga yah, nanti aja deh kuq, ga bawa uangnya.”
“Oke deh, gpp, modemnya agak mahal karna kita ada garansi satu tahun, gak seperti modem yang dijual dipasaran yang mudah rusak.”
“O gitu, ya deh besok aja deh saya balik lagi, makasih banyak yah ko Edward mau bantu saya.”
“Okey, Makasih yah sudah mau berkunjung di tempat kami,” Sapaan para CSR yang telah selesai dilayani, padahal mah mana pernah Edward bersapa seperti itu, hanya karna ketemu gadis yang cantik ajah baru beramah tamah.
Diselang itu, mata-mata tajam sedang memandang dari sudut jejauhan, “Lu ngomong apa bro barusan? Gw ga berani sama lu?” Dengan Garangnya Mas Fajar dengan gaya melipat tangannya.
“Hehehehehehee…. Sudah mas, gak baik kalau ribut, nih gw bagi nomor teleponnya,”

* * * * *

“Wah, buaya juga yah nek, Eyang Edward?” Emma bertanya.
“Hahaha yah Eyang ga tau, Edward dulu yang cerita seperti itu pada Eyang, kayanya segh dari sepengetahuan Eyang, si Edward segh ngak begitu.”
“Wah eyang ngebela aja,yayanknya segh.”
“hahaha…” dibelainya kembali rambut Emma. “Trus besoknya tuh cewek bener-bener dateng lagi nemuin Edward… …. … … “

* * * * *

“Wah Ward, asem lu,” sambutan pagi dari Mas Fajar untuk Edward yang baru saja tiba di ruang pantry.
“Kenapa Mas?” dengan tampang bingung dan berfikir apa yang salah engan dirinya? Dan apa yang sudah diperbuatnya.
“Ini cewek lu, asem banget dah, gw ajakin sms ma dia, malah ngebahas lu molo, nanya-nanya lu molo, ampe bête gw ampe gw bilang dalam hati kenapa segh Edward molo segh yang ditanya, gw yang naksir lu oi mala Edward yang dicari.”
“Cewek gw? Kapan gw punya pacar mas?”
“Itu si Jessica,”
“Ooooo… ya elah mas, gw kira masalah apa? Yah berarti dia ga buta.”
“Ga buta kenapa?”
“Iah, tuh cewek bisa bedain mana orang ganteng ma orang jelek.” sambung dari teman kerja mereka yang juga baru hadir di ruang Pantry.
“Hahaha…. Ahahaha… “ “Sudalah Mas Fajar terima nasib mu yah, hahaha … “ hibur Edward.
“Ah resek lu semua, sudah sana cepetan pada kerja, mau gw aduin lu pada ke Mbak Dian.”
“Dasar bocah, mainnya ngaduan ke atasan.” Ejek Edward dan berlalu dari ruang pantry menuju meja kerjanya. Tepat disaat Edward sedang menuju meja kerjanya, Jessica sudah menunggu di meja kerjanya, duduk di tempat untuk pelanggan. “Hi” sahut Jessica dengan lambai lentik jemarinya.
Edward merasa sedikit aneh, kenapa begitu tiba-tiba, “Iyah ada apa yah?”
“Soal modem yang kemaren, aq mau beli satu.”
“Ooo begitu, tunggu sebentar yah, saya ambilin dulu modemnya.”
“Okey.” Balas Jessica diselingi senyuman manis dan menyisir semua rambutnya dengan jari lentiknya kea rah kanan. Terlihat jelas leher putih, cowo mana yang tidak mendidih darahnya saat melihat keseksian dan kemolekkan godaan dari wanita itu, Bahkan kawan kerjanya yang baru melihat adegan yang mempesona tersebut sampai menelan ludahnya.
Diblakang, pantry, “Sialan, dia datang malah nyari lu bukan gw.”
“Yah biasalah penggemar gw Mas, hahaha… dah ah, coba liat stock modem masih ada gak, Jessica mau beli satu.”
“Masih ada Bro, nih bilang aja gratis,”
“Loh, lu yang bayarin Mas?”
“Iyah… ”
“Yakin lu Mas? Jangan begitulah Mas?”
“Dah gak pa-pa, gw mau dapetin dy,  biar gw yang nanggung.” Mas Fajar membusungkan dadanya, dan menepuk dadanya dengan bangga, layaknya pria sejati.
“kalau dia nolak bagaimana?”
“Yah, harus sampai diterima dunk ma dy, gimana caranya kek. Atau gak bonus lu gak cair”
“Waduh ancamannya, ya sudah gw usahain dari pada bonus gw gak cair.” Sambil memikirkan, setidaknya boleh juga ini dijadikan kesempatan untuk mengetahui Jessica gadis yang baik atau memanfaatkan keadaan semua ini. Kembali ke tempat kerja dengan membawa modem pesanan Jessica.
“Ini Jess, ini segelnya aq buka yah?”
“he eh.”
“bisa diliat yah, modemnya utuh, kabel-kabel USBnya, dan kartu garansinya masih ada lengkap semua yah?”
“Okey.”
“Okey kalau sudah, saya siapin semua settingannya yah.”
Jessica dengan segera mengeluarkan laptopnya, dengan segera Edward mensetting modem ke laptop Jessica dan menuliskan semua berkas-berkas dan kartu garansi, setelah beres semuanya, modem dan laptop dikembalikan kepada Jessica. “Okey makasih yah,” semua peralatan di masukkan ke dalam tas laptop Jessica. “ini uangnya.”
“Oh gak usah ini kamu simpan ajah buat kamu.”
“Loh? Kenapa?”
“Sudah ada yang bayarin.”
“Hmmm… SIapa? Kamu yang bayarin?”
“Hmmm… bukan, itu si Mas Fajar.”
“O begitu, janganlah, aq gak bisa terima, ini aq bayar sajah yah.”
“haduh jangan deh, ntar saya yang kena marah ma dia, terima ajah yah?”
“haduh, jangan lah, aq gak bisa.”
“tolonglah, skali ini sajah yah.”
“Hmmm… okey, tapi ada satu syarat yah?”
“Hah?”
“mau gak?”
“Iyah deh, apa syaratnya?”
“Temanin aq makan malam yah?”
“Hah? Aduh”
“Gimana? kalau ngak mau ya sudah, modemnya aq balikin sajah.”
“Okey deh, aq terima ajakan kamu,”
“Okey, makasih yah, nanti jam berapa selesai kerjanya?”
“Agak malam segh, sekitar jam 10 malam.”
“Okey sampai jumpa nanti malam yah, nanti aq jemput disini.” Dan beranjak pergi Jessica dengan menenteng tas dompetnya, dan memeluk tas laptop kecilnya di pelukannya.
“Edward,” nada tegas terdengar dibelakang , dan teman-teman sedang berkumpul dipojokan tertawa dengan senang melihat penderitaan Edward. “Waaaard.”
“Iyah mas, ada apa nih?” Perasaan yang gak mengenakan datang.
“Gw yang bayarin modemnya, kenapa lu yang diajak makan malam?”
“Ga tau Mas.”
“Gini ja, karna gw masih berbaik hati sama lu, bonus lu utuh, tapi, modem tadi yang buat Jessica lu yang bayarin.”
“Loh kuq gw? tadi kan lu yang mau bayarin/”
“Siapa bilang? Mana saksinya?”
“Tuh si Rizky, saksinya.”
“Bener ki, gw ngomong gitu?”
“Ah mana ada hehehe…. Jangan jadi busuk deh lu Ward hahaha… “ Rizky cengengesan, tersenyum senang diatas penderitaan Edward.
“Sial, apek dah gw,” Edward memukul kepalanya.
“Bodo… Hemmm…” dengan gaya lekong mas Fajar beranjak dari tempat Edward ke meja kerjanya.

Jam 10 malam sudah ditunjukkan oleh jam dinding di ruang pantry, Edward masih melihat kekanan dan kiri ruangan, melihat-lihat apakah Jessica bener-bener akan menjemput dia? “Hmmm… kayanya ga datang tuh cewe, baguslah gw gak mau tejebak dalam cinta segitiga.”
“All gw doloan yah, tar kalau Jessica datang bilang jah gw dah pulang yak?”
“NgggaaaaaKkkk…” serempak dengan kompak meeka menjawab.
“Jadi apa maksudnya nich?” Loh kuq ada suara cewe di belakang? Tak disangka Jessica dengan mas Fajar ada dibelakangnya.
“Haduh mate gw,” suara bisik Edward.
“Mampus lu Ward, hahaha…”
“Kuq bisa disini?”
“Tadi habis dari wc gw liat dia, jadi gw ajak masuk aja skalian.”
“Heemmm… knp? Mau kabur? Hmmm… tidak bisa, ayuk ikut.” Jessica menarik tangan Edward keluar dari Gallery, dan tak lopa member salam pada semuanya. Tapi mereka kawan-kawan kerja yang lain membalas sambil meledek mas Fajar. “Daaahhh mas Fajar, wakakakakak…” Tampang Mas Fajar berubah seperti bocah ingusan yang sedang mewek.

Di Cozy café, yang terletak di Kemang Jakarta, mobil sedan dan sporty berwarna merah terpakir rapih di tempat parkir, Jessica dan Edward turun dari mobil tersebut. “Jess.”  Panggil Edward,
“yah?”
“Yakin kita makan semewah ini? Aq mana punya uang?” dengan tampang bimbang melihat-lihat tempat yang sebagus ini.
“Tenang ajah, aq yang traktir kamu sebagai ucapan terima kasih.”
“Hah? Apa ga berlebihan Jess? Itu kan tugas aq.”
“hmmm… atau gini ajah, gimana kalau perayaan pertemanan kita?”
“Aduh, jangan berlebihanlah masa berteman sajah harus dirayain?” Edward berusaha menghindar dari Jessica.
“Trus? Jadi?” Edward menjadi gelagapan “Udah yah, yuk, tadi kan dah janji mau nemenin aq akan malam.”
“Tapi?”
Jessica sudah memasang tampang cemberut pada Edward dan menatapnya dengan sini, “Alamak kenapa gw terjebak kaya gini?” suara hati Edward berbicara, “Iya deh, aq gak akan banyak ngomong lagi, aq ikutin maunya kamu.”
“gitu dunk, yuk.” Dengan hati riang Jessica menggandeng tangan Edward memasuki Cozy café tersebut. Dan mereka duduk di tempat yang sudah Jessica pesan, yang terletak di balkon atas, yang sudah dihiasi lilin malam dan pemandangan langit malam bertaburan bintang.
“Kamu mau makan apa?” Tanya Jessica sambil membaca-baca menu yang diberikan oleh seorang Waitress.
“Nasi goreng ajah ma nasi putih.” Jawabnya.
“Hah? Ko Edward yang bener dunk pesannya, ini tempat mewah bukan makan yang biasa-biasa seperti itu, kan aku sudah bilang aku yang bayar.”
“I, iyah deh.” Edward membaca kembali menu-menu yang tersedia di buku menu “Mbak saya pesan Steak fried with honey, tolong dagingnya dipanggang agak lama sekitar 3 menit lebih, dan jangan lopa jeruk lemonnya juga yah, minumnya, jus Sunkist.”
“Saya juga sama yah mbak, dan di tambah salat.”
Seorang waitress perempuan mencatat semua pesanan mereka, “Baik saya ulang pesanannya yah bu pesanannya, 2 porsi steak fried with honey, 2 cup Sunkist jus, dan 1 porsi salad. Ada lagi yang lain?”
“Pencuci mulutnya, kasih pudding coklat dan strawberry yah mbak.” Tambah Edward.
“Okey, ada lagi?”
“Sudah, kamu Jess?”
“Udah itu sajah,”
dan beranjak memberikan pesanan mereka pada bagian dapur.
“Wah aq gak nyangka, kamu tau juga makanan enak?”
“Hemm… baca di ineternet, kalau ada waktu aq juga suka browsing-browsing tentang kuliner.”
“Wah pengetahuan luas juga.”
“WAAAH, aduh maaf aq lopa diri, belinya yang cukup mahal.” Bukannya Edward matre, tapi dia lupa akan kebiasaannya kehidupannya di rumah.
“Tenang ajah ko, Aq lagi ada rezeki nomplok jadi sekali-kali gak apa-apa lah.”
“Hmmm… kapan,kapan aq yang gantian traktir kamu yah?”
“Ga sah lah ko? Ngapain repot-repot.”
“Jangan, aqnya yang ga enak ma kamu.”
“Haduh masa pae gak enak segala, tapi bener nih, ko mau traktir aq?” Senyum yang sedikit ada makna tersembunyi dari perkataan Edward.
“Iyah sebagai permintaan maaf sudah menghabiskan uang kamu.”
“hahaha… okey aq tunggu kabar dari mu yah?”
“Hmmm Jess biasa makan disini yah?”
“Ah nggak kalau ada bonus ajah, skali-skali boleh dunk kita makan enak, biasnya segh kaya hokben atau makanan biasa juga jadi.”
“Oooo bgitu.” Suasana jadi terdiam, Edward kehabisan topic karna menjaga groginya didepan Jessica jadi membuat blank dalam fikirannya. Kemudian Edward menatap dengan terpukau pada Jessica yang berada dihadapannya, difikirannya, Jessica yang cantik, menawan, manis dan seksi, dan tampaknya baik menurut fikiran Edward. Matanya indah senyum manis tanpa ada beban, dan saat Jessica menyibakkan rambut terpancar sinar aura yang menggetarkan jiwa, dan mata hati nurani pun menjadi buta, tak disangka dengan reflex tangan kanan Edward menyentuh tangan Jessica di meja disaat Jessica sedang memandang pemandangan disekeliling mereka. Terkejutlah Jessica dengan sentuhan itu,”Hmm… Kenapa ko?”
Terkejut Edward dengan gelagap “Ah? Eh itu, ah emmm, err… maaf, aq aduh, toilet dimana yah?”…
“tuh di koridor pojok sana.”
“Aduh, gobloknya gw.” Edward menyesal dalam hati, dan bergegas ke toilet menahan malunya.

* * * * *

“Ahahaha… malu-maluin banget segh dia Yang?”
“Ahahaha… iah, dia mang begitu, badannya sajah yang besar tapi sama cewek dia pemalu dan malu-maluin, hahaha…”
“Ahahaha… Trus-trus Yang, gimana hubungan mereka bisa putus dan ketemu sama Eyang.”
“Saat itu Edward gak mau cerita sama Eyang bagaimana dia nembak Jessica saat itu, dan giamana mereka putusnya, yah maklumlah namanya juga orang tak mau membuka masa lalunya yang pahit. Tapi Edward mulai bercerita sedikit-sedikit, tentang hubungan mereka. Edward telepon-teleponan ma tuh cewek sampai malam, dan disitulah awal mulanya mereka saling berhubungan ……..”

* * * * *

Seorang mas-mas pengantar kuliner menelusuri koridor mall, membawakan sebuah box makanan memasuki ruang Gallery IM2.
Gallery IM2, “Maaf Mas ada perlu apa yah?” sambutan dari OB di gallery IM2.
“Ini ada kiriman untuk Pak Edward.”
“o itu, Pak Edwardnya Mas.”
Edward tersenyum dan melihat paket makanan yang diantar oleh seorang pegawai kuliner yang berpakaian seragam Hok Ben (Hokka-Hokka Bento).
“Yah makasih yah Mas, berapa totalnya?”
“Sudah dibayar semuanya Pak.”
“Oh, Makasih yah.”
“Sama-sama Pak.”
Dengan bergegas box makanan terbut dibawanya keruang pantry, diambil ponelnya dan menekan nomor kontak Jessica. “Hallo ko, makasih yah sarapan paginya, tau aja orang belum sarapan,hmm… pasti paketnya dah sampai yah?”
“iyah nih Jess, udah sampai.”
“Ya dah makan dulu yah, dihabisin loh, awas sampai nggak.”
“Okey…”
Setelah menutup ponsel, dengan segera membuka box makananya dan … … …
“Perasaan gw, gw dah kasih tau dia deh gw alergi seafood. Aduh gimana nih? gak makan gak hormatin, makan gwnya alergi. Ah bodo ah, udangnya ga gw makan dari pada gw-nya kenapa-kenapa.”
Ponsel berbunyi, dan saat diangkat, suara lembut dan manja terdengar, “Hallo…”
“Hallo Jess, ini agy makan.”
“O masih makan yah? Gimana enak gak?”
“Enak kuq, hehe…”
“Habis?”
“Udah, udah habis kuq.”
“Boonk… Udangnya ga di makan….hehehe…” Sahut Mas Fajar yang sedang iseng.
“Sssstttt … Mas,” Edward member tanda diam pada Mas Fajar, Mas Fajar hanya cengengesan sajah.
“kuq, gak habis? Aq gak suka yah sama cowok yang pilih-pilih makanan.” Ketus Jessica ditelepon.
“Iah… iah aq makan.” Edward berpura-pura bersuara memakan udangnya. Mas Fajar sedang asyik menahan ketawa melihat kelakuan Edward. “Yah sudah yah, nanti aq telepon agy, dah mau kerja lagi.”
“Okey, jangan capek-capek yah ko.”
Ponsel, di tutup, “Kacau lu Mas, pakek ngadu segala, grrr…..” ocehnya.
“Hahaha… sorry bro, peace bro hahaha…” Mas Fajar menu pintu pantry, dan kembali kemeja kerjanya, kebetulan suasana Gallery sedang sepi,dan mengumumkan pengumuman yang penting “OI BRO,DI BLAKANG ADA YANG HABIS DIOMELIN MA CEWEKNYA KARNA GAK MAKAN UDANG.”
“SUSIS DONK.” Sahut Rizky.
“SIAL LU MAS,” “sial pake di umumin keluar, “”PAKE TOA AJA SKALIAN, nyebelin.” Umpalnya.

Malam yang disambut oleh rembulan malam yang telah benderang menerangi kanvas hitam di atas langit Dunia ini, Suara deru motor yang sedang melewati jalan Gajah Mada, Jakarta . Edward berhenti sejenak di sebuah trotoar, mendengar ponsel yang berbunyi. Tertera nomor Rumah yang sedang menghubungi.
“Hallo,” suara wanita baya yang menyapa.
“Hallo Ma.”
“Kamu, Kamu sudah puas belum dengan perbuatan kamu? Setiap hari hanya bisa bikin orang cemas. Ga ada kabar, ga ada berita. Setelah bertengkar dengan papa mu, kamu pergi begitu sajah. Kamu ngerti ga segh jadi orang?”
“Iah mah, maaf Ma, Nanti aq pulang, tapi ga saat ini.”
“Apa maksudnya?”
“Ma beri aq kesempatan, beri aq waktu, aq ingin jadi diri qu sendiri ma.”
“Jadi kamu anggap Orang Tua kamu apa? Makin di-didik makin ga tau ajaran. Kamu mau pulang atau ga usah sama sekali?”
Disamping itu, ada sms dari dedenya, #ko, sry, ma2 tau bkn dr aq,ma2 check hp aq, aq lupa hapus historynya#
#iah udh, gpp# balas Edward.
“Iyah Ma, aq nanti pulang, beri aq waktu lagi.”
“Siapa Ma?” suara Pria baya dari jejauhan, “Si Edward yah? Sini Papa mau bicara sama anak kurang ajar itu.”
“Bukan Pa, ini teman arisan mama.” Ditutupnya telepon itu, dan segera bergegas menyusul Papa untuk mengambil jas dan tas kerja suaminya dan diletakannya diatas sofa untuk sementara, “Mpokk, buatin kopi buat Tuan.”
“Iyah Nyah,” sahut mpok di dapur blakang.
Papa Edward, duduk rebahan di sofa nan besar, “Anak sontoloyo, ga tau diri, ga ada kabar berita bikin orang kahwatir. Di suruh pegang perusahaan malah kabur ga ada kabar, sialan. Mau jadi gelandangan itu anak kurang ajar itu?”
“iyah pa, sudah yah, sabar kasih waktu Edward buat mikir yah.” Istrinya duduk disamping suaminya dan mengelus-elus dada suaminya.
“Mending gak usah lahir saja itu anak, kerjaannya slalu buat ulah, dan bikin pusing aku sajah.”
“Ya sudah sabar Pak, Kasi anak itu waktu buat mikir. Nanti dia juga pasti balik ke rumah lagi yah pa yah. Kita percaya sajah sama dia dulu, sabar pah kasi dia waktu yah, mungkin dia lagi butuh waktu untuk sendiri dulu yah.”
“sendiri apa? Kluarga dia disini, mang keluarga dimana keluarganya. Kamu taukan satu-satunya harapan qu adalah dia untuk meneruskan perusahaan keluarga kita, tapi tiba-tiba dia hilang begitu sajah.”
“Ia pa, anak nya sudah tabiatnya begitu. Ya sudah sekarang papa pergi mandi air hangat sana, sudah mama siapin,”
“Ya sudah, pusing aku mikirin anak kurang ajar itu.” Beranjaklah Papa ke kamarnya, dan mama memijat-mijat kepalanya, “haduh anak ini bikin pusing” dan mama pergi menyusul Papa ke kamar mereka. Melihat kondisi yang agak tenang dari tangga atas,  Christine adik perempuan dari Edward segera masuk kembali ke kamarnya.

#KO Pa2 & ma2, udh pd tenang, ko lu segh cari masalah cepat pulng# sms dari Christine

Edward tak membalasnya, dimasukkan ponsel kedalam saku celananya dan mengambil bungkusan rokok, diambilnya sebatang dan dibakarnya. Tak jauh dari tempat Edward berada, di halte bus, ada seorang gadis dengan pakaian kantornya dengan blazr juga rok sepanjang lututnya, yang baru sajah pulang kerja sedang menunggu Taxi di halte bus. Dengan gaya ugal-ugalan pemuda berpakaian preman datang menghapiri gadis tersebut. “Eh Eneng sendirian ajah, Neng.”
Tak ingin menanggapi dia berusaha menjaga jarak, “Neng jangan sombong dunk sama abang, kan kita Ce es-an,”
“Ih, siapa lo,” sahut gadis tersebut dalam hati, keadaan mulai tak enak, semakin menjauhkan diri dari preman yang SKSD duduk disamping gadis itu, dan akhirnya dia terpojok, “Hehehe… mau kemana lagi neng, eneng ga bisa kemana-mana lagi neng, montok bener neng.”
“Mas jangan kurang ajar yah.”
“Sini tasnya, ” Dengan geram preman tersebut mencoba merampas tasnya tapi mendapatkan perlawanan dari gadis tersebut. “Tolong, RAMPOK TOLONG RAMPOK.”
“Berisik lu,” saat tangan Preman sudah akan melayang ke pipi gadis tersebut, dan “BUUUG” Helm tepat sasaran mendarat ke muka preman tersebut. Mencari-cari siapa yang lempar.
“Woi, Anjing lo yah,” Terjadilah pertengkaran kecil disana, hantaman-hantaman dari pemuda tersebut melayang dengan cepat dan bertenaga, membuat preman tersebut kewalahan. Melihat tasnya terkapar di jalan, segera diambilnya. Pemuda itu berbalik badan dan menghampiri gadis tersebut, “Maaf kamu gak apa-apa? ada yang terluka ga?” Tanya Pemuda itu pada sang gadis.
“Itu, dia bangun lagi,” dengan lunglai, preman itu berusaha bangkit, melihat pemuda itu masih ada dihadapannya, dia pergi. “Kayany sudah aman, dia ga akan berani kesini lagi, yah untuk sementara waktu.”
“I, I, iyah, makas, sih yah,” jawab si gadis dengan perasaan yang masih shock dengan kejadian yang singkat barusan. “Okey kalau gitu, saya tinggal yah?”
“I,I, iyah.”
Pemuda itu meninggalkan si gadis di Halte, mengambil motornya dan berhenti dihadapan si gadis, menyodorkannya helm. “Ayo, gw antar aja, sudah malam, agak rawan disini.”
“Nggak apa-apa nih? Ngerepotin banget.”
“Gak pa-pa, diamana lu tinggal?
“Kost gw gak jauh dari sini,”
“Ya sudah ayo naik,” Dengan segera si Gadis itu menaiki motor pemuda itu, dan melaju dengan cepat, karna dengan kaget kecepatan yang dibawa pemuda tersebut, mau tak mau gadis itu memeluk erat perut pemuda itu. Sesampainya di sebuah gang, Gajah Mada yang tidak terlalu jauh dari Halte tadi sekitar 10 menit perjalanan. “Okey, dah disini ajah, dah deket banget kuq.”
“Bener gak pa-pa disini ajah?”
Gadis itu turun dari motor dan melepaskan helmnya, dan mengembalikannya “Iah ga sah repot-repot lagi, itu kostsan gw,” Menunjukan jari telunjuknya ke sebuah bangunan kostsan bertingkat,”nih, makasih yah tumpangannya.”
“iyah, ya sudah yah, gw balik dolo.”
“Okey, Dah…” Lambaian slamat jalan pada pemuda itu, “Aduh gw lopa lagi nanya siapa namanya. Aduh moga-moga bisa ketemu lagi ma tuh orang, kerenz juga tuh cowok.” Dan si Gadis masuk ke kostsannya.

* * * * *

“Ah si Eyang saking terpesonanya sama Eyang Edward ampe lopa diri, Hahaha…”
“Hahaha iah, Eyang jadi lopa pas itu, habis yang nongol cowok ganteng segh, apa gak bikin Eyang kelepek-kelepek?”
“Tapi keren juga yah Yang, ditolong oleh pangeran tampan kaya Eyang Edward, aaaaahhhh…. Co cweeettt… Trus Yang gimana lagi ceritanya?”
“Terus ceritanya, sekarang sholat dulu, liat dah jam berapa,” tak lama selang waktu beberapa detik, Azan Maghrib di kumandangkan dan waktu sudah menunjukan pukul 18.00 WIB. “Ayuk, sekarang kamu pergi sholat, bantu Eyang dan mbok di dapur, sebentar lagi Papa dan Mama kamu pulang, pasti mereka capek. Dan betapa bahagianya, kalau saat mereka pulang mama dan papa kamu melihat kamu memasak untuk mereka,” dan diakhiri senyum manis dari Eyang dan kecupan hangat di kening cucunya.

Emma beranjak dari tempat Eyangnya, langsung menuju kamarnya untuk sholat, kemudian ke dapur untuk membantu si Mbok, diselang itu Tarry masih melihat-lihat foto mereka saat mereka bersama. Diambilnya foto Edward dan dikecupnya dan didekapnya dengan kerinduan, dikembalikan foto itu ke dalam kotak, dan di taruh di atas nacase yang berada disamping tempat tidurnya, kemudian menyusul Emma di dapur.

Suara mesin mobil yang berhenti didepan pintu rumah, dan pintu rumah terbuka, dan pulang lah sepasang suami istri yang bahagia, dengan setelan orang yang bekerja di perkantoran. “Hmmmm wangi… apa nih? Sedap bener wanginya.” Ucap Pria baya yang memasuki rumah sambil menggandeng istrinya. Dan Bi Endang menutup kembali pintu rumah, dengan sikap sopan Bi Endang jalan membungkuk, berlari kecil menuju dapur. “Papi, Mami….” Sorak Emma dan pergi memeluk dan mengecup pipi Papa dan Mamanya. “Tumben anak mami yang manja ini sambut kita yah pih?”
“iyah nih, biasanya mewek ajah kerjaannya di kamar.”
“Ah Papih mah, Eyang, Papih jahat nih. Emangnya aq secengeng itu?”
“Sudah, sudah, Silvia, Jimmy ayuk makan malam dulu, baru mandi mumpung masih hangat.”
“Iyah Ma,” sahut Jimmy, mengambil blazer dan istrinya, dan di taruhnya di atas sofa. “Yuk, Anak mami yang manja satu ini,” dipeluk sayang anak gadisnya dan mengecup keningnya, mengajak anaknya menghampiri Tarry, dan mengecup tangan bundanya sebagai salam.
Di sela-sela makan malam, Emma membuka pembicaraan, “Mih tadi Eyang cerita tentang cinta sejati Eyang yang dulu loh, seru loh mih.”
“Hahaha… ia mah, cerita mama yang dulu sama Pa….”
“Ehem, ehem… Silvi, ssst…” segera di sela oleh Tarry memberikan isyarat untuk diam, seperti menempelkan jari telunuk dibibirnya, “Nanti ga seru Sil ceritanya.”
“Iyah mih, cerita sama Eyang Edward, co cweet bangat loh mih.”
“Emma yang beresin piring dan mejanya yah? Nanti Eyang lanjutin ceritanya.”
“Okey Eyang.” Dengan bergegas, Emma bangkit berdiri segera membereskan piring-piring kotor dan meja, sementara itu Tarry dan SIlvi sudah berada di ruang keluarga, dan duduk di sofa yang empuk. “Mah, memangnya mamah sudah cerita sampa mana?”
“Baru bagian awal Sil,”
“Pantesan, mama cegah aq ngomong, takut dia bingung nantinya.”
“iah makanya itu, kalau gak tar ga seru juga hahaha…”
“Mamiiii… Eyang…” datanglah Emma yang langsung menyenderkan badan ke bahu mamihnya dengan manja. “Eyang terusin dunk ceritanya!”
“Mamih kamu saja yah yang nerusin ceritanya…”
“Memangnya mamah sudah cerita sampai mana?”
“Sudah mau sampai mamah mau kenalan ma dia,”
“Hmmm…. Oh yang mama ma dia ketemu di tok buku yah?”
“Ia yang itu,”
“O itu ia, aq masih ingat…. Waktu itu… setelah sekian waktu setelah Eyang kamu ini di antar pulang sama Eyang Edward, mereka ga sengaja bertemu di toko buku….  ….”

* * * * *

Dengan cepat berlalu Mentari pagi berubah kanvas langit birunya menjadi senja, dan dunia sedang akan menyambut malam dengan rembulan yang berada di atas langit malam, selesai semua pekerjaan, Edward membereskan meja kerjanya, dan ke belakang, ke pantry untuk kembali mengganti pakaian tugasnya ke pakaian normal. “duluan yah mas Bro.” salam perpisahan pada  seniornya yang sedang santai di meja kerjanya.
“Yups, hati-hati bro.”
Tak langsung kembali ke kostnya, Edward mencari-cari buku referensi atau novel-novel yang menarik untuk dibaca, membaca buku salah satu hobinya. Sedang asyik-asyik mencari ada sebuah buku novel yang menarik dan sebuah moment yang menarik terjadi, tangan seorang gadis sudah menyambar buku itu dan Edward sedikit telat jadi yang yang di sambar bukan buku melainkan tangan seorang gadis. “Eh sorry, gw ga sengaja.” Ucap Edward.
“Eh ga apa-apa.” Si gadis menatap wajah Edward. “Eh, kamu, kamu kan yang waktu itu sudah nolongin aq, makasih yah.”
“Ooo waktu itu kamu yah? gimana? Sudah ga kenapa-kenapa kan?”
“Iah, makasih banyak yah, lu suka baca novel juga?”
“Yah, buat ngisi waktu luang ajah segh.”
“Hmmm… inih buat lu aja,”
“Hah? Ga usah lu ja, lu yang lebih dulu, gw bisa cari yang lain kuq?”
“oh iyah, nama gw Emma Lestari, panggil gw Tarry ajah yah.” Gadis itu yang bernama Emma Lestari atau Tarry, memulai mengajaknya berjabat tangan. Di benak Edward berkata, “cewek ini maniz juga yah.” Edward menyambut tangannya, “Aq Edward.”
“Kerja dimana?”
“di Galley IM2, sebagai csr.”
Sambil mencari-cari buku novel yang lainnya mereka pun terus saling bercakap. “Csr itu kerjanya gimana?” Tanya Tarry pada Edward.
“Kerjanya, yah terima complain, setting, jual produk, menjelaskan produk jasa internet yang ditawarkan, yah seperti itulah. Hmmm kamu sering pulang malam seperti kemaren?”
“Ah nggak, kemaren kebetulan lagi lembur aja aq,”
“Mang kerja apa?”
“Yah saat ini aq masih kerja sebagai admin diperusahaan asuransi.”
“Ohh begitu, lancer dunk kerjaanya?”
“Yah, lumayan, lumayan pusing juga segh ngurus data dan form-form para client.”
“O begitu, bisa dibayangkan,” Edward bergaya sepeti orang pintar mengetuk-ngetuk bibirnya dengan jarinya.
“hahahaha…. Kamu lebay ah.”
“hehehe… Habis ini mau kemana?”
“Mungkin pulang ke kost-an, kamu?”
“Aq kayanya mau ngambil beberapa gambar.”
“Maksudnya kamu fotografi gitu?”
“Yah sedikit meluangkan hobby, hehehe… Hmmmm… ga ada yang seru lagi nih novelnya, kapan-kapan aja deh balik ke ini lagi.”
“Kalau gak buku ini habis gw baca gw pinjamin ke kamu, berapa PIN kamu?” disiapkannya ponsel BB (black berry) untuk memasukkan kontak baru.
“Aq gak punya BB, sms ajah ke 081380866186” Selesai mencatat dimasukkan kembali BBnya ke dalam tas mungilnya. Dengan akrabnya mereka berbincang padahal baru saja saling mengenal.
“Yuk, kita ke kasir.” Sambil menunggu antrian yang cukup panjang, mereka masih melanjutkan pemicaraan. “hmmm… km mau ngambil gambar dimana?”
“di parkiran atas, biar dapat pemandangan yang bagus.”
“Wah kayanya seru tuh yah.”
“Kapan-kapan aq yang jadi modelnya yah? hehehe…”
“Yah boleh ajah.”
“oh iyah, km kost diamana?”
“Di mampang prapatan, daerah Karet Jakarta selatan, eh iyah, km  kan…”
“Malam Mbak,” terpotong pembicaraan mereka karana Tarry sudah berada di depan kasir, disodorkannya buku-buku novel yang dia ambil untuk di bayar. Selesai Tarry, kemudian giliran Edward. Dan Tarry sudah menunggunya di pintu depan took Gramed, “Eh, tadi kamu mau ngomong apa?”
“Nggak cuman mau Tanya, kamu kan ngekostnya di Gajah mada kuq, mainnya kesini?”
Tak ada jawaban dari Tarry, dia sedang terpaku dengan pria yang masuk kesebuah resto, hatinya penasaran, dengan gelisah Tarry meningglakan Edward yang sedang kebingungan dengan sikap Tarry. Sesampainya di Resto, Tarry hanya bisa melihatnya dari kaca luar, Edward yang mengikutinya, penasaran apa yang sedang dilihat Tarry, dilihat kesana kemari dan terdapat sebuah adegan dimana sang pria yang baru saja tiba sedang mengecup mesrah bibir teman wanitanya yang diduga mungkin ini yang sedang dilihat oleh Tarry, kembali melihat Tarry yang sudah meneteskan air mata, saat Pria yang dilihat Tarry menggandeng teman wanitanya keluar dari Resto, Tarry agak mulai bersikap panik berusaha menutupi wajahnya karna tak ingin ketauan oleh Pria itu. Edward mengerti situasi yang sedang terjadi, dipegangnya lengan Tarry dan telah melihat mata Tarry meneteskan air matanya, dan mendekap kepala Tarry didalam pelukkannya. Tarry menangis didekapan Edward menahan suara agar tidak menarik perhatan di tempat umum. Pria dengan wanitanya tadi di dalam Resto, baru sajah melewati mereka berdua dengan cuek menghiraukan apa yang terjadi.

Setelah kejadian yang cukup membuat Tarry shock, Tarry yang turun dari motor Edward, berjalan lunglai menuju pintu pagar kost, badannya berbalik “Makasih yah Ward.”
“Iyah sama-….” Belum tuntas kata-kata yang ingin disampaikan, Tarry langsung masuk dengan muka suram ke dalam kostannya. Edward mengerti apa yang dirasakan oleh hatinya Tarry saat ini, terlihat sebuah kamar dilantai dua yang baru menyala, Edward menduga mungkin itu kamarnya Tarry. Entah apa yang terasa dihati, mengapa dia juga bisa merasakan apa yang dirasakan dan juga bersedih, merasa prihatin dan merasa ingin terus mendekapnya seperti waktu di Mall, ingin menaga dirinya.
Tarry yang menyalakan lampu kamarnya, wajahnya masih lembab, makeupnya luntur akibat airmatanya, dia bersandar dibalik pintu kamarnya, dan terduduk dilantai kamarnya.

* * * * *

“Aduh nyesek banget tuh pasti yah Yang?”
“Yah saat itu segh yah iyah, sekarang kan udah masa lalu.”
“Sudah, ini sudah malam, sekarang waktunya kamu tidur besok km mau sekolah Emma.” Menepuk-tepuk tangan Emma dengan lembut seperti bayi kecil yang dirangkulny.
“Tapi masih pengen denger mih.” Rengek manjanya Emma.
“Ngak, udah, km ini kan bangunnya suka telat apa lagi tidurnya malam.”
“Ah Mamih…” Emma memasang muka memelasnya kepada mamihnya, tapi tetap sajah Silvi memberikan tanda tidak dan menunjuk masuk kamarnya dengan tegas.
“Iya deh,” akhirnya Emma menyerah juga, dengan hati yang penasaran kembali ke kamarnya. Tapi pembicaraan itu belum selesai, setelah Emma ke kamarnya.
“Mah, sangat disayangkan yah, Aq lahir tapi Papa pergi, jadi aq gak bisa melihat sosok Papa seperti apa?”
“yah namanya juga sudah jalan takdirnya yang diberika  Allah kepada kita sil, yah kita yang disini jalani sajah dengan iklhas.”
“Aku jadi kangen sama papa,”
“Yah mamah juga, meski mama sudah menikah dengan Brata, tapi hati mama selalu memikirkan dia.”
Silvi dan Tarry saling memberikan pelukkan hangat, dan saling mengelus punggung mereka. Tarry mengingat kembali masa-masa itu, kenangan memori yang begitu kuat dan kan selalu melekat di dalam fikiran dan hatinya.

* * * * *

Sudah dua minggu berlalu dari kejadian di Mall, dan semenjak itu Tarry tak pernah menghubungi pia itu, entah bagaimana mereka memutuskan hubungan mereka, tampaknya setiap Tarry bertemu di kantor mereka tak pernah bicara, dengan keputusan berat hati namun pasti. Tarry pun sudah jenuh bekerja dengan suasana kantor seperti ini, maka ia memutuskan untuk resign.
“Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu?” Pria baya yang sedang duduk di kursi manajer, menimang-nimang surat resign dari Tarry.
“Iah Pak, saya ingin berhenti Pak.”
“Alasannya?”
“Saya ingin mencari yang lebih baik lagi Pak.”
“Begitu, apa disini masih kurang baik.”
“Bukan begitu pak, saya harus mencari penghasilan yang lebih untuk biaya keluarga saya di Cikarang.”
“Oh begitu, okey saya mengerti yang km rasakan, bapak sebenarnya tau apa yang terjadi antara kamu dengan Aldy juga Vera.”
“iah pak, maaf sudah membuat bapak pusing dengan hasil kinerja saya pak selama dua minggu terakhir ini.”
“yah sudah ga pa-pa, bapak ngerti, ya sudah, ini tugas buat km yang terakhir, tolong jangan sampai salah yah pendataan client-client kita.”
“Iyah, Pak makasih yah, Pak.”
“yah, silahkan…”

Tarry  kembali ke meja kerjanya, untuk menyelesaikan pekerjaan yang sedang diberikan oleh atasannya. Terlihat box launch diatas meja kerjanya, dengan bingung diambilnya surat yang terjepit dengan karet diatas box launchnya.

“Hey Tarry,
Selamat menikmati yah, meski sibuk kerja jangan biarkan perut kamu kosong yah!”
                                                                                                                                From, Edward.                 

Senyuman pelangi terlukis diwajahnya.

“Ehem, dari siapa tuh tumben banget Aldy romantic kaya gini?” goda teman sepekerjanya, yang bernama Revi tertera di name tagnya.
“Bukan kuq Rev, bukan dari dia tapi dari temen gw.”
“Hah? Siapa? Siapa? Dari siapa?”
“ieeww kepo deh kamu say hahaha.”

Sabtu, 31 Maret 2012

chapter III aq akan ada untuk mu slalu


Where will u go to go?

Wajah-wajah tegang terlukis diwajah masing-masing siswa-siswi, mereka sedang melakukan persiapan dalam mengahadapi tantangan Ujian Akhir Nasional (UAN). Bahkan Sisca yang biasanya tampil dengan dandanan rapin dan juga cantik, kali ini sedikit berantakan dan cukup stress menghadapai UAN, rona gelap seperti panda mulai tampak di wajah Sisca. Denis sedang asyik dengan cameranya mengambil gambar wajah-wajah kucel kawan-kawannya, dan tak luput mengambil wajah kucelnya Sisca sambil tertawa senang dan jahil.
“Denis…” Bu Kepsek dengan melipat tangannya dan menghentak-hentakkan kaki, memergoki Denis yang sedang asyik mengambil gambar kejadian-kejadian yang dilakukan oleh Sisca sahabat baiknya.
“Eh Ibu, hehehe …”
“Nggak masuk ke kelas Denis?”
“Eh, ia bu, saya masuk ke kelas,” dengan segera melangkahkan kaki masuk kekelas, tapi ups,’Salah Kelas!’ dengan sedikit malu, Denis melangkah keluar dan kembali ke kelasnya berasal. Sisca yang melihatnya tersenyum dan geleng-geleng kepala bahkan tawa terbahak-bahak mengemuh di seluruh ruang kelas Sisca. Karna sudah tertangkap basah, mau tak mau Denis kembali kekelasnya dengan pelajaran Fisika yang membosankan yang di ajar oleh Pak Herwin. Bahkan Pak Herwin tidak menggubrisnya saat Denis kembali masuk ke kelas, dianggapnya angin lewat sajah.  Pelajaran pun trus berlanjut sampai sekolah berakhir.

* * * * *

“malu-maluin gw aja u tadi, pake salah masuk kelas, hahaha … “
Denis menundukan mukanya yg memerah dengan kebiasaan menggaruk-garuk kepalanya mencari alasan untuk menghindar, “sis, tar malam gw belajar tempat u yah?”
“dasar mengalihkan pembicaraan! Boleh aja segh belajar tempat gw, tapii ada apa nih kuq tiba-tiba?”
“ia, ada pelajaran yang gak gw ngarti”
“hah? Gak salah? u itu kan lebih pintar dari wa”
Denis berlalu begitu sajah tanpa memperpedulikan Sisca yang mencemberutkan bibirnya.
Bergantilah matahari senja yang tidur, kini saatnya rembulan memberikan cahayanya dimalam hari. Denis pun tiba rumah yang tidak kalah besarnya dari rumah Denis, Denis dan Sisca berbeda 1 blok sajah, namun setiap pulang pergi sekolah pasti melewati rumahnya Sisca. Di dalam rumah Sisca terdapat banyak foto-foto Sisca yang berpose di studio, dan juga ada beberapa hasil karya jepretan Denis.
“malam om Jerremy, tante Lulu”
“Eh Denis, malam-malam gini ada apa?” sambut Tante Lulu, tente lulu wanita yang cantiq, tak kalah kalah cantik dengan Sisca juga mama-nya Denis.
“Gimana kabar papa?” sambut om Jerremy, tampang berwibawa, dan penuh sopan dan senyum pada siapa saja. Apa agy dengan keluarga Denis, karna Om Jerremy sahabat papa Denis dari kecil. Bahkan perusahaan mereka selalu bekerja sama dalam bisnis.
“Papa baik Om, mau belajar ma Sisca Tante buat menghadapi UAN.”
“oh ya sudah, langsung ja ke kamar Sisca,” Tante mempersilahkan, “Siscaaa… Denis dating”
“Ia Tant, mari Om”
Berlalulah Denis, menuju lantai atas kamar Sisca.
“pa, pa lihat deh makin mesrah yah mereka, seperti qita!”
“Iya “
“Gimana kalau kita jodohkan saja mereka pa, toh kita sudah kenal lama keluarga Denis.”
“Kalau soal itu, Papa sih, setujuh-setujuh sajah. Apa lagi saya dengan Erwin sudah kenal lama. Bahkan kami seperti saudara. Tetapi kita harus kompromikan dolo dengan Erwin dan juga dengan mereka, gak bisa kita paksakan. Kalau mereka gak suka bagaimana?”
“ia juga segh, tapi kan gak salah kalau kita bicarakan dolo sama ko Erwin, yah kan pi” suara Tante Lulu memanja.
“ia, nanti kalau ada kesempatan kita kerumah Erwin untuk kita bicarakan okey mih,”
“Nah gitu dunk, makin cinta deh pih, muuaaach” di kecup pipi-nya Om Jerremy, om Jerremy pun membalas dengan kecupan di kening Tante Lulu dan merangkul bahu tante.

* * * * *

Saat memasuki ruangan serba pinky, tak tersengaja Denis melihat fotonya terbingkai rapih tergeletak di atas nacase, di samping tempat tidur Sisca. Denis tidak memperdulikannya, dia mengeluarkan beberapa foto Sisca yang sedang berantakan dandannya dan meletakkannya di hadapan Sisca yang sedang berkonsentrasi berperang menghadapi soal-soal yang menantangnya dari buku mata pelajaran Kimia.
“Aaahhh.. Denis mah, masa moto gw pas agy jelek” suara manja kesalnya. Dengan kesal sembari tangan kirinya memegang foto-fotonya, tangan kanan mencubit perut Denis dengan kesalnya.